Gambar diambil dari google |
Ridwan, F. (2019). Representasi
Feminisme dalam Film Maleficent. ProTVF,
1(2), 139-150. doi: 10.24198/ptvf.v1i2.19873.
Putri,
A. & Nurhajati, L. (2020). Representasi Perempuan dalam Kukungan Tradisi
Jawa pada Film Kartini Karya Hanung Bramantyo. ProTVF, 4(1), 42-63. doi: 10.24198/ptvf.v4i1.24008.
Topik feminisme menarik perhatian peneliti karena selama ini perempuan sering digambarkan hanya sebagai objek narasi yang pasif bahkan objek erotis utama dalam film. Fauzi Ridwan melakukan penelitian dalam film Maleficent untuk mengetahui makna kode semiotika mengenai feminisme dalam level realitas, level representasi dan level ideologi. Fauzi Ridwan dalam penelitiannya menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis semiotika John Fiske berdasarkan kode-kode televisi yang terbagi ke dalam tiga level yaitu level realitas, level representasi dan level ideologi.
Hasil penelitian jurnal Fauzi Ridwan pada level realitas dalam film Maleficent menunjukkan bahwa nilai-nilai feminisme terepresentasikan pada kode penampilan (appereance), tata rias (make up), kostum (dress), perilaku (behavior), lingkungan (environment) dan cara bicara (speech). Kode penampilan (appereance) menunjukkan karakter Maleficent sebagai perempuan yang aktif namun tetap terlihat sisi feminimnya dalam beberapa adegan. Kode tata rias (make up) menunjukkan karakter mandiri, pemberani, kuat dan tegas pada Maleficent melalui lipstik, shading pipi dan bentuk alis. Kode kostum (dress) menunjukkan bahwa Maleficent memiliki karakter yang kuat, kemurnian hati dan bersahabat. Kode perilaku (behavior) menegaskan karakter kuat, pemberani dan bertanggung jawab pada diri Maleficent yang terlihat dalam beberapa adegan. Kode lingkungan (environment) menunjukkan bahwa Maleficent sebagai peri perempuan memiliki hubungan yang erat dengan alam. Kode cara bicara (speech) menunjukkan ketegasan dan kelembutan Maleficent sebagai seorang perempuan.
Pada level representasi yang diteliti dalam film Maleficent menunjukkan bahwa nilai-nilai feminisme terepresentasikan melalui kode teknik dan kode representasi konvensional. Dari kode teknik yang sangat terlihat dalam merepresentasikan feminisme adalah teknik kamera (camera). Dalam menggambarkan karakter seperti Raja Henry, Stefan dan Maleficent digunakan sudut pengambilan gambar low angle. Sudut low angle memberikan kesan dramatis untuk menunjukkan kekuatan dan kekuasaan. Karakter laki-laki (Stefan dan Henry) maupun perempuan (Maleficent) sama-sama sering digambarkan dengan sudut low angle sehingga menunjukkan adanya kesetaraan. Dari kode representasi konvensional yang sangat terlihat dalam merepresentasikan feminisme adalah kode karakter (character), kode konflik (conflict), aksi (action) dan dialog (dialogue). Melalui kode karakter (character) terlihat bahwa karakter yang dimiliki Maleficent mencerminkan karakter perempuan yang aktif. Melalui kode konflik (conflict) terlihat konflik yang terjadi di antara kedua kerajaan membawa pesan terselubung terkait feminisme. Melalui kode aksi (action) terlihat tindakan-tindakan yang dilakukan Maleficent untuk menunjukkan bahwa ia mampu bangkit kembali dari kesedihan dan keterpurukan setelah kekerasan yang ia alami. Melalui kode dialog (dialogue) menunjukkan bahwa Maleficent memiliki karakter yang tegas, bertanggung jawab, penyayang dan pemaaf.
Pada level ideologi dari tiga sequence yang diteliti dalam film Maleficent menunjukkan bahwa ideologi
feminisme yang terkandung tidak hanya direpresentasikan melalui isi cerita dan
adegan di dalam film tetapi faktor eksternal juga memberikan pengaruh
tersampaikannya pesan feminisme dalam film. Adapun nilai feminisme yang
terepresentasikan mewakili aliran ekofeminisme di mana perempuan dan alam
memiliki hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan.
Film Kartini yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo dan diperankan oleh Dian Sastrowardoyo sebagai sosok Kartini merupakan sebuah media yang menampilkan kisah nyata, berdasarkan sejarah kepada masyarakat. Alycia Putri dan Lestari Nurhajati dalam jurnal ini mengatakan bahwa film Kartini menggambarkan tentang kaum perempuan abad ke-19 yang tidak dapat bebas dan tidak setara dengan laki-laki. Namun yang menarik sosok Kartini digambarkan sebagai sosok perempuan yang bukan hanya tokoh emansipasi, tetapi juga memiliki jiwa revolusioner. Alycia Putri dan Lestari Nurhajati melakukan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya film Kartini ini mampu merepresentasikan gambaran kesetaraan gender atas sosok perempuan yang berada dalam kukungan tradisi Jawa. Konsep kesetaraan gender menjadi dasar dalam penelitian ini. Gender merupakan suatu pembeda peran, fungsi, status dan tanggungjawab antara laki-laki dengan perempuan sebagai hasil dari bentukan (konstruksi) sosial budaya yang tercipta melalui proses sosialisasi dari satu generasi ke generasi. Penelitian dalan jurnal ini menggunakan analisis wacana Sara Mills yang memiliki fokus pada wacana mengenai feminisme; bagaimana perempuan ditampilkan dalam teks, teks yang dimaksud ialah film Kartini versi Hanung Bramantyo.
Hasil penelitian dalam jurnal ini menunjukan bagaimana sesungguhnya sebuah karya film fiksi, yang disadur dari sebuah peristiwa nyata, dengan latar belakang situasi tadisi Jawa yang penuh aturan dan kolot, mampu memunculkan sosok perempuan yang memiliki kesadaran atas kesetaraan gender. Terlihat dari beberapa potongan adegan yang menampilkan sosok perempuan berada di bawah kuasa laki-laki. Keadaan perempuan pada tahun 1880-an dengan tradisi ningrat Jawa dibangun atas peraturan tradisi dan laki-laki sebagai sosok yang lebih berkuasa menunjukkan kesetaraan gender menjadi isu besar di masa itu. Ideologi partriarki dalam Film Kartini ditunjukkan dalam adegan pingitan, perempuan dilarang keluar pendopo, dan seorang istri atau ibu yang bukan keturunan ningrat harus tidur di belakang rumah. Ajaran-ajaran dalam sistem budaya Jawa adalah nilai-nilai budaya yang kurang mendukung suatu posisi perempuan untuk menjadi setara dalam berbagai sektor kehidupan (Budiati, 2010).
Film Kartini memberikan gambaran Kartini dan
adik-adik perempuannya merasa serba salah dan terdesak dengan keadaan tradisi.
Mereka tetap harus mengikutin pingitan, tetapi mereka juga tahu bahwa menikah
akan ada dampak buruknya bagi mereka, seperti poligami dan hilangnya kesempatan
menuntut ilmu, tetapi mereka juga salah jika keluar dari rumah untuk melakukan
kegiatan pendidikan karena itu melanggar tradisi dan melecehkan harkat dan
martabat sebagai perempuan di kala itu. Posisi Subjek-Objek menampilkan adegan-adegan
film berupa peristiwa yang terjadi di masa Kartini menjadi sosok perempuan yang
berada di bawah kuasa laki-laki. Ketidakadilan gender dalam film Kartini
menyebabkan adanya kesenjangan peran yang dapat dilihat bahwa perempuan selalu
tertindas oleh kaum laki-laki. Konsep adat Jawa yang membelenggu perempuan Jawa
di kala itu sedikit demi sedikit diruntuhkan oleh Kartini karena sikapnya yang
berani membuat perubahan dan membukakan pikiran orang-orang di sekitarnya, baik
laki-laki maupun perempuan tentang ketidakadilan gender.
Kedua jurnal ini ditulis
dengan baik dan sistematis oleh penulis. Terlebih lagi, kedua jurnal ini dilengkapi
dengan gambar potongan-potongan adegan dalam film yang menguatkan argumen dari
penulis dalam jurnal ini. Sama-sama mengangkat film sebagai sumber data
penelitian, dalam jurnal Fauzi Ridwan fokus penelitian terletak pada feminisme
dari segi realitas, representasi, dan ideologi menggunakan teori semiotika John
Fiske, sedangkan dalam jurnal Alycia Putri dan Lestari Nurhajati lebih
menekankan bagaimana konsep feminisme yang ditampilkan dalam teks menggunakan
analisis wacana Sara Mills. Hasil dan pembahasan dalam jurnal Fauzi Ridwan
dipaparkan dalam bentuk tabel secara rinci sehingga memudahkan pembaca untuk
melihat perbandingan dari segi realitas, representasi, dan ideologi atas konsep
feminisme yang ditampilkan dalam film Maleficent,
sedangkan hasil dan pembahasan dalam jurnal Alycia Putri dan Lestari Nurhajati
hanya dipaparkan secara runut tanpa disertai tabel pendukung karena mereka
hanya menampilkan konsep feminisme dalam teks film Kartini. Fauzi Ridwan dengan
objektif memaparkan bahwa nilai feminisme yang terepresentasi dalam film Maleficent mewakili aliran ekofeminisme
dimana perempuan dan alam memiliki hubungan yang erat dan tidak dapat
dipisahkan. Lain halnya dengan Alycia Putri dan Lestari Nurhajati, dalam
jurnalnya menjabarkan konsep feminisme yang memiliki kesadaraan atas kesetaraan
gender.
0 komentar