ANALISIS PENDEKATAN EKSPRESIF CERPEN AGUS NOOR; MAWAR DI TIANG GANTUNGAN
Gambar diambil dari google |
Agus
Noor merupakan sastrawan, cerpenis yang berawal dari dunia teater, karya-karya
yang dibuatnya biasanya berisi kritik keadaan Indonesia. Sebelumnya beliau
pernah membuat naskah teater bersama Ayu Utami yang berjudul Sidang Susila untuk merefleksikan dan mengkritik
Rancangan Undang Undang Anti-Pornografi. Beliau juga pernah membuat naskah
untuk program Sentilan Sentilun di
Metro TV yang diadopsi dari naskah monolognya, Matinya Sang Kritikus,
yang sebelumnya telah dipentaskan di sejumlah kota.
Dari biografi singkatnya dapat kita lihat bahwa
Agus noor juga konsisten mengkritik keadaan sosial dan kedudukan hukum di
Indonesia dalam cerpen Mawar di Tiang
Gantungan. Hal ini dapat kita buktikan dengan kutipan berikut:
“…. Peristiwa pemerkosaan itu mereka
tutup-tutupi dengan pembunuhan itu. Mereka bilang mereka tengah patroli seperti
biasa. Mawar mereka bawa dan nasihati baikbaik ketika mendadak ia mengamuk.
Rupanya ia mabok berat. Di tasnya ada beberapa butir pil dan pisau lipat—yang
sengaja ditaruh petugas untuk menjebaknya. Ada bercak darah di pisau itu. Dan
selanjutnya kalian tahu sebagaimana diberitakan koran-koran: dikatakan Mawar
baru saja membunuh seorang pelanggan yang tak membayarnya. Bahkan petugas bisa
mengembangkan bukti, ternyata dialah psikopat yang selama ini mereka cari.
Ia pembunuh yang telah memotong-motong delapan korbannya. Pelacur dan pembunuh.
Itu alasan yang cukup untuk menyeretnya ke tiang gantungan. Kalian seketika merasa
nyaman karena pembunuh misterius itu telah tertangkap. Dan kalian makin merasa
tenang karena kalian memang ingin melenyapkan maksiat dari kota.
Pelacur-pelacur mesti disingkirkan. Mereka selama ini membuatmu jengah karena
takut dengannya suami-suami dan anak laki-laki kalian berzina. Segala yang
cabul mesti dimusnahkah, karena begitulah menurut undang-undang yang baru
kalian sahkan. Maka kalian pun hanya diam ketika Mawar diarak ke alun-alun
kota, dicambuk dan dirajam, kemudian digantung sebagai tontonan. Kusaksikan
senja yang memar, burung gagak merah berkaokan, dan angin yang muram berkesiur
pelan membuat tubuh itu terayun di tiang gantungan.”
Melalui cerpen Mawar di Tiang Gantungan, Agus Noor mengekspresikan dengan
menegaskan betapa rusaknya moral dan hukum bangsa Indonesia, khususnya seorang
aparat hukum sendiri. Agus Noor merefleksikannya dengan menggambarkan tokoh
petugas patroli yang menyalahgunakan kekuasaannya, yang seharusnya menertibkan
jalanan malah menyekab Mawar dan memperkosanya lalu membalikkan semua tuduhan
pembunuhan kepada Mawar, hingga Mawar harus berakhir di tiang gantungan.
Melalui tokoh wanita buta itu, Agus noor juga mengekspresikan
bahwa orang yang buta sekalipun masih mempunyai nurani dan dapat melihat
kebenarannya melalui sudut pandang lain. Tapi nyatanya hukum Indonesia hanya
percaya dengan apa yang mereka lihat yang sejatinya adalah hasil rekayasa. Hal
ini dapat dilihat melalui kutipan berikut:
“Kuceritakan
apa yang kusaksikan, tapi kalian tak pernah percaya pada saksi mata yang buta.
Padahal bukan aku yang dusta, tapi mereka.”
Kesedihan dan kesepian Agus Noor dalam melihat akibat
yang ditimbulkan karena bobroknya keadaan moral dan hukum Indonesia
direfleksikan melalui tokoh aku/wanita buta yang ada di cerpen Mawar di Tiang Gantungan. Hal ini dapat
dilihat melalui kutipan berikut:
“Aku sendirian di alunalun itu, memandangi
tubuh Mawar yang tergantung dalam bayangan cahaya murung. Kurasakan debu-debu
beterbangan diembus angin yang makin jekut ketika kesepian makin membentangkan
kelengangan yang menyayatkan keperihan bersama debu dan dingin yang mulai
membaluri kota sementara sisa gema lonceng bagai melekat di udara yang makin
menggigilkanku dalam kesedihan.”
Pemikiran Agus Noor bahwa akan selalu ada kebaikan Tuhan yang menyertai
di setiap manusia, Tuhan akan membalas mereka yang diperlakukan tidak adil di
dunia. Hal ini dapat dilihat melalui kutipan berikut:
“Kalian
pasti akan langsung tahu siapa dia begitu melihat wajahnya yang bersih dan
indah, seperti ada cahaya mengitari kepalanya. Matanya seperti bintang bening.
Senyumnya seperti anggur lembut yang seketika bisa menghapus dahaga. Rambutnya
ikal dan panjang.”
“Aku begitu terkesima menyaksikannya.
Langit seakan tiba-tiba benderang penuh cahaya keemasan yang cemerlang. Kulihat
ia bersimpuh di bawah tiang gantungan, dan mencium lembut kaki mayat yang
tergantung itu, kemudian menurunkannya. Saat itu aku melihat ribuan mawar
mengapung di udara menyerbakkan harum yang megah. Kudengar kalian masih
menyanyikan doa-doa dan pujian di gereja ketika laki-laki itu membawanya pergi.
Seperti pengantin membopong mempelainya.”
Melalui tokoh Aku (wanita
buta), Agus Noor merefleksikan dirinya yang terkesima menyaksikan keajaiban dan
kebaikan Tuhan. Tokoh “Dia” yang dimaksud dalam kutipan di atas adalah Tuhan
Yesus yang datang memberi rahmat, membawa jasad Mawar seperti pengantin yang
membopong mempelainya.
0 komentar