Kemarin
malam, tepatnya sekitar jam 2 pagi, ketika saya lagi asyik menyulam, saya dapat
kabar bahwa saudara sepupu saya meninggal. Beliau tergolong masih muda, belum
menikah, sudah punya penghasilan sendiri, rumah sendiri, bahkan rela menafkahi
kakak perempuannya, seorang janda yang mengidap penyakit syaraf. Mama saya
langsung ke rumah sakit, menjemput jenazahnya. Sekitar jam 3 pagi, ketika
jenazah sudah sampai di rumah duka, saya datang melayat. Saat itu yang
dipikiran saya adalah kenapa belum ada yang membaca Yasin? Saya langsung duduk
di samping jenazah bersama saudara sepupu saya yang lainnya, kami berlima
membacakan Yasin untuk beliau.
Setelah beberapa menit, saya selesai membaca Yasin, saudara-saudara saya yang selesai membaca, satu-persatu keluar. Duduk di teras, di bawah tenda. Saya sendiri di dalam, di samping jenazah beliau.
Satu yang ada dalam pikiran saya saat itu:
“Ketika saya meninggal nanti, apakah keadaan juga akan seperti ini? Orang membaca yasin setelah itu pergi, keluar, lama belum ada yang datang bergantian lagi, malah penuh duduk berkumpul di tenda.”
Saya pun lantas lanjut membacakan doa lagi. Entah berapa kali saya membacakan doa. Saya hanya berpikir bahwa ketika saya meninggal nanti, saya ingin ada orang yang selalu, terus-menerus di samping saya, melantunkan doa.
Menjelang subuh, lampu tiba-tiba padam. Saya tetap membacakan doa melalui ponsel, tak beranjak dari tempat saya semula. Orang yang datang untuk melayat pun belum ada, belum ada yang mengaji lagi. Di luar masih penuh ibu-ibu dan saudara laki-laki, duduk di bawah tenda.
Saya menangis.
Yaa Rabb, Bagaimana saya ketika meninggal nanti?
Apakah sama seperti ini? Jenazah bahkan belum dikubur, tetapi sudah merasakan gelap gulita, belum ada yang melayat lagi, sepi.
Saya masih terus melantunkan doa. Berharap ketika saya meninggal nanti, ketika lampu padam, akan ada orang di samping saya yang membacakan ayat suci, doa kepada saya. Bukan sunyi dan gelap yang harus saya terima, bahkan sebelum liang kubur menjadi rumah saya.
Saya melantunkan doa dengan sedikit kencang, tenggorokan rasanya tercekat, menahan tangis.
Saya punya sahabat, seperti saudara kandung. Apa saja kami ceritakan. Pernah dia bilang seperti ini:
“Nanti kalau lu nikah, trus gue gak dateng kira-kira lu sedih gak?”
Lalu, saya menjawab:
“Sedih sih, tapi gak apa-apa. Yang penting kalau gue meninggal, lu harus datang melayat, nemenin gue, nganter gue sampe kubur. Udah itu aja.”
Dengan entengnya, dia jawab:
“Iya, InsyaAllah ya, kalau gue gak meninggal duluan. Umurkan gak ada yang tau, kalau gue meninggal duluan, lu harus dateng juga, ya nememin gue, nganterin gue sampe kubur.”
Jujur, saya menangis. Kami sering membicarakan hal seperti ini. Saya masih ingat percakapan saya melalui whatsapp dengannya saat itu. Dia tiba-tiba bilang:
“Nanti kalau lu masuk surga, trus lu nyari gue gak ada, lu panggil gue ya.”
“Iya lah, masa gue gak mau kumpul sama lu di Surga. Tapi kalau lu yang masuk surga, trus gue gak ada, lu juga bakalan nyari gue kan? Manggil gue?"
“Iyalah.”
Benar ya, kalau kita sayang sama orang, kita pasti ingin sekali bagaimanapun caranya, kita bisa kumpul sama mereka di surga. Bagaimana caranya kita berkumpul sama orang tua kita, saudara kita, sahabat kita di surga?
Ketika saya mengajak mama saya belajar, ngaji. Saya bilang seperti ini ke mama:
“Mah, aku banyak dosa ya ma? aku rasanya masih kotor aja ma.” Saya menangis, tidur di pangkuan Mama.
“Kamu kan sudah rajin sholat, ngaji, kenapa masih ngomong kayak gtu? Gausah berlebihan.”
“Aku takut Mah, Aku takut Allah gak Ridho sama aku.”
Mama saya diam saja saat itu. Lalu saya bilang:
“Mah, belajar ngaji yuk, emang mama gak mau kita ketemu, kumpul lagi di surga?”
“Iyaa, mama kan sekarang tiap satu pengajian terus sama Bu Haji.”
Gantian, saya yang diam. Saya berharap Mama saya mengerti dengan hidup untuk mendapatkan ridhonya Allah.
Ya Rabb, lindungilah kami, berikanlah kami selalu petunjuk-Mu, dekatkan lah kami dengan orang-orang yang shaleh, orang-orang yang Kau cintai, orang-orang yang memanfaatkan dunia hanya untuk mendapatkan Ridho-Mu. Aamiin.
Setelah beberapa menit, saya selesai membaca Yasin, saudara-saudara saya yang selesai membaca, satu-persatu keluar. Duduk di teras, di bawah tenda. Saya sendiri di dalam, di samping jenazah beliau.
Satu yang ada dalam pikiran saya saat itu:
“Ketika saya meninggal nanti, apakah keadaan juga akan seperti ini? Orang membaca yasin setelah itu pergi, keluar, lama belum ada yang datang bergantian lagi, malah penuh duduk berkumpul di tenda.”
Saya pun lantas lanjut membacakan doa lagi. Entah berapa kali saya membacakan doa. Saya hanya berpikir bahwa ketika saya meninggal nanti, saya ingin ada orang yang selalu, terus-menerus di samping saya, melantunkan doa.
Menjelang subuh, lampu tiba-tiba padam. Saya tetap membacakan doa melalui ponsel, tak beranjak dari tempat saya semula. Orang yang datang untuk melayat pun belum ada, belum ada yang mengaji lagi. Di luar masih penuh ibu-ibu dan saudara laki-laki, duduk di bawah tenda.
Saya menangis.
Yaa Rabb, Bagaimana saya ketika meninggal nanti?
Apakah sama seperti ini? Jenazah bahkan belum dikubur, tetapi sudah merasakan gelap gulita, belum ada yang melayat lagi, sepi.
Saya masih terus melantunkan doa. Berharap ketika saya meninggal nanti, ketika lampu padam, akan ada orang di samping saya yang membacakan ayat suci, doa kepada saya. Bukan sunyi dan gelap yang harus saya terima, bahkan sebelum liang kubur menjadi rumah saya.
Saya melantunkan doa dengan sedikit kencang, tenggorokan rasanya tercekat, menahan tangis.
Saya punya sahabat, seperti saudara kandung. Apa saja kami ceritakan. Pernah dia bilang seperti ini:
“Nanti kalau lu nikah, trus gue gak dateng kira-kira lu sedih gak?”
Lalu, saya menjawab:
“Sedih sih, tapi gak apa-apa. Yang penting kalau gue meninggal, lu harus datang melayat, nemenin gue, nganter gue sampe kubur. Udah itu aja.”
Dengan entengnya, dia jawab:
“Iya, InsyaAllah ya, kalau gue gak meninggal duluan. Umurkan gak ada yang tau, kalau gue meninggal duluan, lu harus dateng juga, ya nememin gue, nganterin gue sampe kubur.”
Jujur, saya menangis. Kami sering membicarakan hal seperti ini. Saya masih ingat percakapan saya melalui whatsapp dengannya saat itu. Dia tiba-tiba bilang:
“Nanti kalau lu masuk surga, trus lu nyari gue gak ada, lu panggil gue ya.”
“Iya lah, masa gue gak mau kumpul sama lu di Surga. Tapi kalau lu yang masuk surga, trus gue gak ada, lu juga bakalan nyari gue kan? Manggil gue?"
“Iyalah.”
Benar ya, kalau kita sayang sama orang, kita pasti ingin sekali bagaimanapun caranya, kita bisa kumpul sama mereka di surga. Bagaimana caranya kita berkumpul sama orang tua kita, saudara kita, sahabat kita di surga?
Ketika saya mengajak mama saya belajar, ngaji. Saya bilang seperti ini ke mama:
“Mah, aku banyak dosa ya ma? aku rasanya masih kotor aja ma.” Saya menangis, tidur di pangkuan Mama.
“Kamu kan sudah rajin sholat, ngaji, kenapa masih ngomong kayak gtu? Gausah berlebihan.”
“Aku takut Mah, Aku takut Allah gak Ridho sama aku.”
Mama saya diam saja saat itu. Lalu saya bilang:
“Mah, belajar ngaji yuk, emang mama gak mau kita ketemu, kumpul lagi di surga?”
“Iyaa, mama kan sekarang tiap satu pengajian terus sama Bu Haji.”
Gantian, saya yang diam. Saya berharap Mama saya mengerti dengan hidup untuk mendapatkan ridhonya Allah.
Ya Rabb, lindungilah kami, berikanlah kami selalu petunjuk-Mu, dekatkan lah kami dengan orang-orang yang shaleh, orang-orang yang Kau cintai, orang-orang yang memanfaatkan dunia hanya untuk mendapatkan Ridho-Mu. Aamiin.