Kamar Nomor 13


Sebelumnya aku minta maaf, jangan tanya kenapa aku bisa menulis cerita seperti ini, mungkin karena aku bosan dengan romance, dan masih terasa sensasinya setelah membaca novel Agatha Christie. Jadilah cerita feminisme dan agak dark gini. Mau dibuang sayang, jadi diupload deh. Selamat membaca..

***

Aku meringkuk di sudut kasur. Sudah satu jam badanku bergetar tak henti-hentinya. Rasanya aku ingin sekali menjerit sekeras mungkin, namun tak bisa. Tubuhku lemas. Aku meringis menahan sakit yang kurasakan di bagian bawah perutku, sementara laki-laki itu hanya tertawa puas sambil merapikan celananya. Seperti hewan buas yang sudah mendapatkan mangsanya, dia pergi begitu saja tanpa peduli apa yang sudah dilakukannya. Dia membunuh hidupku.
Aku bukan wanita rendahan, aku hanya wanita yang bernasib sial bertemu laki-laki jahanam seperti dirinya. Namanya Joni. Awalnya, kupikir dia laki-laki yang baik. Tutur kata dan tingkah lakunya sopan. Tak lama kemudian, aku mendapat laporan dari temanku bahwa dia kerap melihat Joni pulang larut pagi dalam keadaan mabuk.
Ketika aku bertanya langsung kepada Joni, dia mengelak dengan kata-kata kasar. Lalu tatapan matanya yang tulus, berubah menjadi tatapan lapar. Saat itu aku tahu, dia sedang mabuk. Lalu dia menyeretku ke tempat ini. Dia seperti binatang buas yang menerkam mangsanya, sedangkan aku seperti tikus kecil yang diterkam buaya. Dengan brutalnya, dia menjelajahi kehormatanku. Aku meronta-ronta sekuat tenaga, namun tenaganya jauh lebih kuat. Bau alkohol dari mulutnya mulai tercium di wajahku. Aku menamparnya. Bukannya sadar, dia malah menjadi lebih brutal. Bajuku berhasil dirobek olehnya, dan saat itu aku hanya bisa menangis tanpa tahu harus berbuat apa. Aku lemah, bodoh, karena tertipu oleh topengnya. Sekarang aku hanya wanita kotor.
"Aaaagrhhh Joni sialaaaaaan!" Aku akhirnya menjerit melampiaskan amarahku. Berkali-kali aku berteriak, memberikan sumpah serapah kepada laki-laki itu.
Aku tidak tahu bagaimana aku akan menjalani hari-hariku ke depannya. Aku takut. Dunia terasa menghimpitku, aku merasa kerdil dan terperangkap dalam lubang kotor ini. Aku sudah menjadi sampah. Ya, aku sampah yang dibuang Joni.
"Aku sampah Joni, aku sampah! Kotor!"
Hari-hariku terasa suram, gelap. Selama satu bulan, aku lebih banyak berada di dalam rumah. Aku tak sanggup keluar rumah. Apalagi setelah aku tahu bahwa benih yang ditanam Joni, tumbuh subur di rahimku. Aku takut semua orang akan tahu bahwa aku kotor. Lalu mereka akan menertawakanku, membicarakanku di belakang, dan menghinaku.
"Lihat itu Nisa! Lihat wanita kotor itu, lihat! dasar wanita sundal." Bayangan wajah orang-orang mencemooh menghantuiku.
"Nisa itu tampangnya saja polos, dalamnya luar biasa busuk." Aku membayangkan semua orang melemparkan tatapan tajam ke arahku.
"Bukan aku, bukan akuuuuuuuuu!" Aku menangis, aku menutup telinga dari semuanya. Duhai para manusia kejam; Laki-laki yang bermodal rayu dan nafsu, wanita yang merasa dirinya paling suci. Aku benci hidup di tengah-tengah manusia seperti kalian, aku muak! Terutama laki-laki itu.
"Setan! Laki-laki itu setan!"  Kali ini aku berteriak lebih keras dan liar, aku ingin mereka tahu bahwa laki-laki itu busuk.
Berbulan-bulan sudah aku mendekam di dalam kamar. Aku sadar, manusia kotor dan sampah sepertiku memang tidak pantas berada di antara manusia suci. Aku memutuskan untuk pergi ke tempat yang bisa menampung sampah sepertiku.
Berdirilah aku di sini. Tempat yang gemar sekali didatangi oleh laki-laki seperti Joni. Awalnya aku hanya menganggap tempat ini sebagai pelarian hidup. Lama-kelamaan aku mulai menikmati kehidupan baruku di sini. Jangan tanya padaku bagaimana dengan janinku, sudah jelas bukan, aku tidak punya pilihan selain menggugurkannya. Aku menikmati peranku sebagai wanita pemuas kaum adam. Toh, hidupku sudah kotor. Setiap harinya aku bergumul bersama laki-laki. Sama sepertiku, mereka datang membawa keluh kesah masing-masing. Ada yang kecewa dengan istrinya yang mandul, ada yang mencari pelampiasan karena istrinya selingkuh, atau mereka yang memang laki-laki bejat seperti Joni. Sementara aku datang untuk menunggu Joni. Aku yakin Tuhan akan memberikan kesempatan untuk mempertemukan kami. Aku menunggu saat-saat itu.
Sekarang, semua pria di sini menginginkanku. Mereka tak mengenal Nisa yang polos dan lugu. Mereka hanya mengenal Salma yang cantik, menyenangkan, dan seksi. Ya, sekarang aku pandai merayu dan membahagiakan laki-laki. Membawa mereka ke puncak kenikmatan duniawi adalah keahlianku. Seperti malam ini, laki-laki keturunan Tionghoa itu masih betah berlama-lama di atas tempat tidur denganku. Aku tak masalah. Toh laki-laki ini kaya raya, dia membawaku ke hotel berbintang di Ibukota. Aku memang pilih-pilih soal pelanggan. Biar bagaimanapun, aku tidak mau disentuh oleh sembarangan laki-laki. Biasanya aku memilih laki-laki yang berkelas, yang tahu bagaimana bersikap dan tidak asal memilih tempat.
Dia masih sibuk membelai tubuhku. Laki-laki memang tak pernah puas. Makhluk buas seperti mereka tidak akan pernah cukup dengan satu wanita. Aku tahu laki-laki ini masih lajang. Di usia sepertinya, hasrat laki-lakinya masih memuncak. Dia masih ingin mendengarkan desahanku. Beberapa kali aku melenguh, yang langsung disambut oleh erangannya. Suara kami beradu. Aku benar-benar menikmatinya. Berbeda dengan dulu, aku hanya bisa merasakan sakit, baik jiwa maupun raga. Tidak ada kenikmatan yang kurasakan dari sentuhan Joni.
Kami berlomba-lomba mencapai kenikmatan itu. Hingga ketika kami berhasil meraihnya, Laki-laki Tionghoa itu tersenyum puas kepadaku.
“Kamu memang pandai sekali, aku tidak salah memilihmu.” Dia berkata dengan lembut, khas laki-laki ketika sudah diberi kepuasan. Dia mengecup keningku.
Kalau ditanya apa aku bahagia dengan semua kenikmatan semu ini? Tidak, aku tak pernah bahagia. Aku hanya menipu diriku sendiri. Sebenarnya, akulah yang memanfaatkan laki-laki untuk menegaskan betapa kotornya diriku. Aku lah yang menggunakan mereka untuk mencapai tujuanku. Aku ingin setiap laki-laki yang membeli tubuhku, merasakan betapa luar biasanya diriku. Hingga nantinya mereka akan menyerukan namaku di setiap obrolan mereka. Ya, laki-laki bejat seperti mereka, ketika berkumpul yang dibicarakan hanya wanita. Aku ingin nama Salma terdengar sampai ke telinga Joni. Biar saja, aku dijadikan piala bergilir oleh mereka. Asalkan mereka mengantarkan aku sampai ke tujuanku. Bertemu Joni.
Aku sudah banyak mencari tahu tentang Joni. Dia masih sama bejatnya seperti dulu. Masih suka pulang pagi, mabuk-mabukan. Kudengar ada wanita yang bunuh diri, karena dihamili olehnya. Dasar biadab!
Joni sering menghabiskan malam di tempat sepertiku. Dia juga telah menjadi pegawai negeri. Aku benci membayangkan mukanya yang semakin sengak dan licik itu. Aku tak pernah membenci Tuhan yang memberikan kesuksesan materi kepada orang seperti Joni. Toh, uang mereka juga untuk kami. Aku hanya benci dengan laki-laki yang memanfaatkan kuasanya untuk menaklukkan wanita.
Hampir satu tahun aku menjelajahi tempat kotor ini. Hampir semua laki-laki di sini telah merasakan tubuhku. Tapi aku belum puas. Mangsa yang kutunggu-tunggu masih belum datang menghampiriku. Aku telah memasang umpan yang begitu menggoda, menggiurkan bagi laki-laki. Namun Joni belum juga kelihatan batang hidungnya.
“Salma?” Panggilan itu masih asing di telingaku sendiri. Teman satu kerjaan denganku baru saja menepuk bahuku.
“Ya? Ada yang pesan?” Tanyaku dengan nada menantang. Hari ini aku memakai gaun beludru hitam backless. Aku sengaja memilih hitam, karena kontras dengan kulitku yang putih. Model baju ini juga sangat menonjolkan lekuk tubuhku. Rambutku digelung anggun dengan tusuk perak klasik.
“Gila! kamu pakai pelet apa sih? Masa tiap malam ramai terus, bagi-bagi rezekinya sedikit lah.” Temanku itu memang kurang laris jika dibandingkan denganku. Ya, memang sih dia juga punya pelanggan tetap. Tapi tipe-tipe pelanggannya jauh di bawah standar pelangganku. Aku hanya menyunggingkan senyum di bibir yang telah kupoles dengan lipstik merah menggoda. Aku mengedipkan mata sebelum pergi menghampiri laki-laki yang telah menungguku.
Seperti biasa, aku berjalan santai menghampiri laki-laki itu. Dia juga menyapa dengan elegan. Tidak bersikap genit terhadapku. Bagus, sesuai seleraku.
“Vodka?” Tanyanya menawarkan minuman. Aku menyambut minuman pemberiannya.
“Sudah berapa lama?” Dia bertanya kepadaku. Oh rupanya dia pendatang baru di sini.
“Kenapa? Takut salah pilih? Aku bukan amatiran kok.” Aku meyakinkannya. Dia hanya mengangguk mantap.
“Yuk, aku sudah memesan tempat spesial.” Bak peragawati, dia berjalan tegap sambil menggandeng lenganku. Baru saja kami akan masuk ke dalam mobil, saat itulah aku melihat Joni. Dia turun dari mobil jeepnya. Mukanya terlihat sama persis. Aku menghentikan langkahku.
“Maaf, aku tiba-tiba haid. Bagaimana kalau ganti hari? Nanti aku kasih diskon spesial.” Aku bertanya dengan lembut sambil merapikan kemejanya.
It’s ok, next time saja.” Katanya sambil tersenyum. Lega rasanya. Inilah keuntungan mempunyai pelanggan berkelas.
Aku lantas masuk ke dalam bar, menyusul Joni. Aku tidak ingin kehilangan jejaknya. Dia tengah minum sambil berbisik kepada wanita. Aku tahu sebentar lagi dia akan datang menghampiriku. Aku duduk manis di meja bar sambil memesan minum. Aku sengaja duduk berlawanan arah dengannya. Aku penasaran bagaimana reaksinya nanti setelah melihat wajahku. Benar saja, aku melihat dari kejauhan temanku datang menghampiriku.
“Sal, sudah selesai kan? Cepat juga. Ada pelanggan baru lagi tuh, mintanya yang paling spesial di sini.” Temanku tidak tahu bahwa laki-laki itu adalah tujuan utamaku datang ke sini.
“Oke, asalkan tarifnya sesuai.” Kataku mengiyakan. Temanku langsung ke tempat Joni. Dia berbisik kepada Joni, disusul dengan anggukan kepala Joni.
Sebentar lagi.
Aku deg-degan. Bukan gugup karena mendamba kehadirannya. Melainkan aku penasaran akan seperti apa sikapnya nanti. Aku pura-pura duduk manis, berbicara dengan bartender. Aku melihat pantulan Joni dari kaca rak minuman. Dia berjalan dengan percaya diri ke arahku.
“Salma, bukan?” Dia menepuk sambil memijit pundakku dengan lembut. Brengsek! Belum apa-apa sudah berani seperti ini.
“Bukan.” Aku berbalik badan, menatap langsung ke wajahnya. Aku tersenyum melihat dirinya mematung. Kaget?
“Nisa?” Tanyanya dengan polos.
“Masih ingat rupanya, kupikir Mas sudah lupa.” Aku tersenyum manja sambil mengelus lehernya. Dia hanya diam saja sesaat.
“Sejak kapan kamu seperti ini?” Tanyanya sok peduli dengan keadaanku.
“Loh seperti apa? Mas kan tahu aku dulu juga pernah menjadi wanita Mas.” Aku masih pura-pura manja dengannya. Aku ingin sekali meludahi wajahnya yang mendadak tergoda dengan elusan tanganku di lehernya. Joni, Joni! Sentuhan seperti ini saja sudah bisa membiusmu. Tanganku berpindah ke arah dadanya. Kuelus kembali dengan sayang.
“Mas sudah tidak penasaran lagi denganku?” Tanyaku sambil tetap mengelus dadanya.
“Aku… Eee… kamu tidak marah denganku, soal waktu itu? Kamu tahu kan aku sedang mabuk waktu itu. Aku juga berusaha mencari kamu. Tapi, karena aku sudah resmi jadi pegawai negeri, aku beberapa kali ditugaskan ke luar kota. Syukurlah kita sudah bertemu seperti ini, kamu juga tambah cantik.” Dia berkilah sambil membelai rambutku. Tatapannya mulai menunjukkan bahwa dia lapar. Omongannya terasa seperti pedang yang menusuk luka lamaku. Hampir saja aku mencengkram kerah bajunya. Aku harus bisa menahan diri.
Begitu cepat Joni masuk ke dalam perangkapku. Aku mengajaknya ke kamarku sendiri. Kamar nomor 13. Selain hotel, aku memang suka melayani laki-laki di kamar ini. Awalnya Joni ingin memesan kamar mewah di hotel berbintang sebagai hadiah spesial untuk pertemuan pertamanya denganku. Tapi aku menolak, karena ini pekerjaan, bukan urusan hati.
Aku menutup gorden jendela. Aku memasang senyum manis menggoda kepadanya. Dia bangkit dari tempat tidur, menghampiriku yang berdiri di depan jendela. Dia memelukku. Kami mulai saling memercikkan api cinta. Percikan-percikan yang kami hasilkan membuat Joni menggiring tubuhku ke atas tempat tidur.
Seperti dulu, dia mulai menjelajahi tubuhku. Dia memulainya dengan perlahan. Hingga kehangatan menjalar ke seluruh tubuh kami. Peluh menetes dari wajahnya. Aku baru tahu ternyata dia pandai sekali membuatku mendesah, melenguh karena sensasi sentuhannya. Kami semakin dalam terbawa kenikmatan cinta. Aku melihatnya menikmati setiap lenguhan yang keluar dari mulutku. Dia mulai menggila, erangannya mulai terdengar. Nafasnya semakin memburu, sebentar lagi dia akan mencapai puncak kenikmatannya. Dan, ketika dia hampir meraihnya, aku menancapkan tusuk rambut perakku tepat di urat lehernya! Suaranya tercekat, bersama darah segar yang mengalir membasahi dadanya. Percikan darahnya mengenai wajahku.  Aku bangkit dari tubuhnya yang sudah kaku.
Dendamku sudah terbalas.
Aku puas melihat tubuhnya yang telah menjadi mayat. Tatapan lapar itu kini berubah menjadi tatapan kosong. Tidak ada lagi senyum nakal. Hewan buas itu telah mati terperangkap oleh mangsanya sendiri.
Aku mengambil tabung kaca yang sudah sejak lama kusembunyikan di dalam lemari. Tabung yang di dalamnya terdapat daging yang telah diawetkan. Ya daging itu adalah janin anakku dan Joni yang telah aku aborsi beberapa bulan yang lalu.
Aku menangis menatap janin itu. Janin yang sempat tumbuh di rahimku. Janin yang dengan teganya telah kubunuh dengan tanganku sendiri. Semua itu karena Joni sialan! Jabang bayi itu lalu kuangkat dengan tanganku yang berlumur darah, dan kuletakkan di atas dada Joni.
“Hahaha Joni sialan itu sudah mati! Lelaki bejat itu sudah mati!  Aku telah membunuh dia dan anaknya hahaha.” Aku berteriak, aku menjerit kesetanan.
Sekarang, ke mana lagi aku akan pergi? Sudah tidak ada lagi tempat untuk wanita kotor, sampah, dan pembunuh sepertiku! Manusia yang merasa dirinya begitu suci, tak akan pernah mau hidup berdampingan dengan manusia kotor sepertiku. Aku menatap darah yang menetes dari mayat Joni dan janin itu. Aku tersenyum, mencabut tusuk perak yang masih tertancap di leher Joni.
Kita akan berjumpa nak!













0 komentar