Essay, Journal, Book, Movie
  • Home
  • Artikel
  • Cerpen
  • My Review
    • Review Buku
    • Review Novel
    • Review Film
    • Review Drama
  • Puisi
  • Essai
Ketika SMP dan SMK,  aku pernah mengalami masa transisi dari siswa aktif menjadi siswa pasif di kelas akibat korban bully.

Saat kelas IX SMP, aku pindah sekolah dari SMP di kabupaten ke SMP di provinsi. Aku terbiasa ekstra belajar karena tuntutan di sekolah lamaku  yang merupakan SMP unggulan di Kabupaten dan berstandart nasional. Di sekolah baruku, mendadak aku menjadi siswa yang dikenal oleh guru-guru di sekolah, termasuk menjadi saingan oleh teman sekelasku yang ternyata selalu istiqomah meraih peringkat 1 di kelas. 

Kami tidak musuhan, hanya saja aku merasakan ketidaksukaannya akan kehadiranku sebagai murid baru di kelas. Terbukti, di semester pertama, aku meraih peringkat 1 di kelas, dan meraih juara umum 2 di sekolah. Sedangkan dia, bergeser ke peringkat 2 di kelas.

Semua berjalan normal, sampai di pertengahan semester 2, tepatnya ketika melaksanakan pendalaman materi untuk persiapan UN. Saat itu kami sedang membahas soal di salah satu pelajaran, dan aku protes dengan jawaban yang diberikan oleh guruku. Aku merasa apa yang dijelaskannya kurang tepat sebagai jawaban. Saat itu, hanya aku satu-satunya yang memilih jawaban yang berbeda. Aku pun memberikan argumen serta bukti-bukti yang kuat kepada guruku.  Lantas, guruku pun bilang dia akan kembali memikirkannya dan membahasnya minggu depan. Saat minggu depan, aku dengan percaya diri, yakin,  bahwa guruku akan sependapat denganku, ternyata salah. Guruku tetap memberikan jawaban yang sama seperti sebelumnya. Aku merasa saat itu teman-temanku membiacarakanku di belakang. Aku tak mengerti bagaimana bisa jawabannya jadi seperti itu, seharusnya bukan itu. 

Esoknya, aku merasa beberapa teman yang sering mengobrol denganku di kelas, mendadak menujukkan sikap lebih pro ke teman sainganku itu, dia tidak lagi bertanya soal pelajaran denganku, melainkan ke sainganku, padahal tempat duduknya lebih dekat denganku. 
Aku merasa dikucilkan, meskipun tidak seekstrim itu, tapi itulah yang ada di pikiranku. 

Aku merasa kesal, marah, apalagi ketika aku bertukar pendapat dengan temanku di kelas lain, kebetulan dia juga diberi soal yang sama dengan guru yang berbeda, dan betapa mengejutkannya aku, dia bilang jawaban yang benar dari gurunya adalah persis seperti jawabanku. Aku jadi bingung, apa guru di kelasku malu mengakui kesalahannya di depan murid, karena dari sekelas, hanya aku yang bisa menjawab dengan benar, apa dia begitu malu mengakui bahwa jawabannya dan jawaban dari seluruh teman sekelasku adalah salah. Aku kira, guru akan lebih malu jika mengajari muridnya dengan teori yang salah. Ternyata, guru juga seperti manusia yang lainnya, malu mengakui kesalahannya sendiri. 

Sejak itu, aku kurang berminat dengan apa yang disampaikannya, aku juga malas menjawab kuis yang diberikannya, aku bahkan jadi pasif dan jarang unjuk gigi untuk tampil memberikan pendapat. Aku menjadi siswa pasif sampai akhirnya nilaiku turun dan menjadi peringkat 2 di kelas, sedangkan sainganku kembali mendapatkan posisinya semula sebelum kedatangananku, menjadi  juara kelas. 

ketika lulus, aku harus ikhlas bahwa orang tuaku memandaftarkanku di SMK ibukota. Aku pindah dari provinsi, ke ibukota. Aku yang awalnya berminat masuk SMA, lagi-lagi harus beradaptasi dengan suasana yang kurang menyenangkan bagiku, sekolah di sekolah yang tidak mempunyai standart khusus. Awalnya, aku menjalaninya dengan setengah marah, karena harus sekolah di SMK. Lama-kelamaan aku mulai menikmati. 

Aku kembali menjadi juara kelas berturut-turut. Hingga, kejadian tidak menyenangkan itu datang lagi. Ketika di kelas XI, aku mempunyai teman yang suka bolos, dan mendapatkan surat peringataan dari kepala sekolah. Aku diminta salah satu guru untuk mengantarkan surat undangan wali murid ke rumah orang tuanya. Di sana, aku mendapati bahwa orang tuanya  (maaf) cacat. Hatiku mencelos, ketika menyadari bahwa orang tua sepertinya memiliki anak yang terancam DO. 

Besoknya, ketika pembagian kelompok di salah satu matpel, aku mengajukan diri untuk satu kelompok dengannya. Aku tahu, banyak teman-temanku yang tidak mau sekelompok dengannya, aku hanya tidak ingin dia merasa diasingkan di kelas, dan menjadi malas sekolah. Tapi ternyata niat baikku disalah artikan oleh teman-temanku yang lain. 

Aku mulai merasakan ketidaksukaan beberapa temanku, hingga klimaksnya ketika presentasi kelompok. Aku dibantai habis-habisan oleh pertanyaan mereka, aku tahu mereka sengaja mengeles dan menepis atau kasarnya tidak akan pernah mau terima dengan argumenku. Satu jam pelajaran dihabiskan hanya untuk presentasiku. Akhirnya, setelah presentasi aku menangis. Aku merasa teman-teman membenciku. Aku mulai difitnah bahwa aku sering pilih kasih memberikan presentasi kehadiran temanku yang sering bolos itu.  Aku juga mendengar dari salah satu teman yang bilang "Nyayu itu perfeksionis, makanya anak-anak pada gak suka." 
Aku lantas bilang "Kalau aku perfeksionis, apa aku merugikan kalian? Aku aku menyusahkan kalian? Karakter orang kan beda-beda. Aku memang perfeksionis, aku bahkan pernah membuat ulang makalah kelompok hanya gara-gara teknik penulisannya yang salah, tapi itu kukerjakan sendiri, aku print sendiri, pakai uang sendiri, tidak meminta patungan lagi, justru kalian yang enak, tidak repot-repot mengeluarkan uang dan tenaga  tambahan tapi ikut mendapat nilai A."

Hari-hariku berubah menjadi lebih sepi, tepatnya aku menjadi merasa asing di kelas, aku juga kembali pasif seperti waktu SMP sebelumnya, aku bahkan beberapa kali izin pulang karena tidak kuat dengan gunjingan dan protes teman-temanku terhadap sikap perfeksionisku. Tapi untungnya, karena guru-guru sudah mengenalku, mungkin sikap pasifku tidak terlalu dipermasalahkan, aku tetap menjadi juara kelas sampai di kelas XII. 
Seiring berjalannya waktu juga, teman-temanku kembali membaik karena teman yang sering bolos itu akhirnya benar-benar di drop out dari sekolah, ditambah UN yang semakin dekat sehingga kami mau tidak mau harus belajar berkelompok. Aku banyak belajar bagaimana beradaptasi dengan lingkungan yang kontras sekali perbedaannya dengan lingkunganku sebelumnya, serta bagaimana menerima perbedaan karakter dan pola pikir teman-temanku. 












Tulisan ini aku buat setelah aku membaca buku karangan Buya Hamka; Di Bawah Lindungan Ka'bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Meski filmnya sudah kutonton bertahun-tahun silam, rasanya tidak adil jika tidak membaca bukunya juga.

Premis kedua cerita tersebut hampir sama; Cinta terhalang kelas sosial. Endingnya pun hampir sama; Tidak pernah ditakdirkan bersatu. 

Di Bawah Lindungan Ka'bah mengisahkan Hamid dan Zainab yang lebih dulu menghadap Sang Illahi sebelum mengikrarkan cinta mereka. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck mengisahkan Zainuddin yang harus kembali kehilangan Hayati.

Dari sana dapat kita tangkap bahwa kisah mereka lagi-lagi merupakan kisah sad ending yang pada dasarnya merupakan kisah yang kusukai. 

Tapi point pentingnya adalah meskipun kisah mereka tragis, aku merasa bahwa aku tak seberuntung Hamid ataupun Zainuddin. Hamid yang tak sempat bertemu Zainab untuk mengucapkan bahwa dia juga mencintai Zainab karena ternyata cinta Allah yang lebih dulu bertemu dengannya, justru lebih beruntung daripada aku. Begitupun Zainuddin yang  baru mengetahui bahwa cinta Hayati hanya untuknya seorang sesaat ketika Hayati akan menjemput ajalnya. Beruntunglah mereka yang ternyata saling menyambut anugerah terindah dari Tuhan; Cinta. (Meski tak ditakdirkan bersama di dunia).

Aku baru menyadari mengapa seumur hidupnya Kahlil Gibran, Jane Austen tak pernah menikah. Mereka hidup dalam kekayaan hati mereka sendiri. Mereka merasa cukup dengan hanya mencinta. Begitupun Rumi, dia merasa cukup dengan cintanya kepada Sang Illahi.


Sebaliknya aku tak habis pikir dengan kisah-kisah lainnya. Mereka yang saling mencintai tapi tak pernah mengalah dengan egoisme dan keangkuhan mereka. Mereka yang mempunyai waktu dan kesempatan untuk bersatu tapi malah mengalah pada egoisme mereka sendiri, menciptakan jarak mereka sendiri. Bukankah cinta melebihi segalanya? Mengapa hanya karena rasa bersalah, beban masa lalu, keangkuhan memaafkan kesalahan orang lain, lantas mereka menukarkannya dengan cinta. Tak semua orang seberuntung kalian, yang saling menyambut dalam cinta dan diberi kesempatan untuk bersatu. 





Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

ABOUT ME

I'm one of those who believe that there is no friend as loyal as a book.

Blog Archive

  • ►  2021 (1)
    • ►  Juli (1)
  • ▼  2020 (15)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (1)
    • ►  Juli (8)
    • ▼  Maret (2)
      • Aku Pernah Menjadi Korban Bully
      • Beruntung
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2019 (8)
    • ►  November (1)
    • ►  September (4)
    • ►  Juli (3)
  • ►  2018 (2)
    • ►  November (1)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2017 (2)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (1)
  • ►  2016 (1)
    • ►  November (1)
  • ►  2015 (1)
    • ►  November (1)

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.

Designed By OddThemes | Distributed By Blogger Templates