Sebelumnya aku minta maaf, jangan tanya kenapa aku bisa menulis cerita seperti ini, mungkin karena aku bosan dengan romance, dan masih terasa sensasinya setelah membaca novel Agatha Christie. Jadilah cerita feminisme dan agak dark gini. Mau dibuang sayang, jadi diupload deh. Selamat membaca..
***
Aku meringkuk di sudut kasur. Sudah satu jam badanku
bergetar tak henti-hentinya. Rasanya aku ingin sekali menjerit sekeras mungkin,
namun tak bisa. Tubuhku lemas. Aku meringis menahan sakit yang kurasakan di bagian
bawah perutku, sementara laki-laki itu hanya tertawa puas sambil merapikan
celananya. Seperti hewan buas yang sudah mendapatkan mangsanya, dia pergi
begitu saja tanpa peduli apa yang sudah dilakukannya. Dia membunuh hidupku.
Aku bukan wanita rendahan, aku hanya wanita yang bernasib
sial bertemu laki-laki jahanam seperti dirinya. Namanya Joni. Awalnya, kupikir
dia laki-laki yang baik. Tutur kata dan tingkah lakunya sopan. Tak lama
kemudian, aku mendapat laporan dari temanku bahwa dia kerap melihat Joni pulang
larut pagi dalam keadaan mabuk.
Ketika aku bertanya langsung kepada Joni, dia mengelak
dengan kata-kata kasar. Lalu tatapan matanya yang tulus, berubah menjadi
tatapan lapar. Saat itu aku tahu, dia sedang mabuk. Lalu dia menyeretku ke
tempat ini. Dia seperti binatang buas yang menerkam mangsanya, sedangkan aku
seperti tikus kecil yang diterkam buaya. Dengan brutalnya, dia menjelajahi
kehormatanku. Aku meronta-ronta sekuat tenaga, namun tenaganya jauh lebih kuat.
Bau alkohol dari mulutnya mulai tercium di wajahku. Aku menamparnya. Bukannya
sadar, dia malah menjadi lebih brutal. Bajuku berhasil dirobek olehnya, dan
saat itu aku hanya bisa menangis tanpa tahu harus berbuat apa. Aku lemah,
bodoh, karena tertipu oleh topengnya. Sekarang aku hanya wanita kotor.
"Aaaagrhhh Joni sialaaaaaan!" Aku akhirnya
menjerit melampiaskan amarahku. Berkali-kali aku berteriak, memberikan sumpah
serapah kepada laki-laki itu.
Aku tidak tahu bagaimana aku akan menjalani hari-hariku ke
depannya. Aku takut. Dunia terasa menghimpitku, aku merasa kerdil dan
terperangkap dalam lubang kotor ini. Aku sudah menjadi sampah. Ya, aku sampah
yang dibuang Joni.
"Aku sampah Joni, aku sampah! Kotor!"
Hari-hariku terasa suram, gelap. Selama satu bulan, aku
lebih banyak berada di dalam rumah. Aku tak sanggup keluar rumah. Apalagi
setelah aku tahu bahwa benih yang ditanam Joni, tumbuh subur di rahimku. Aku
takut semua orang akan tahu bahwa aku kotor. Lalu mereka akan menertawakanku,
membicarakanku di belakang, dan menghinaku.
"Lihat itu Nisa! Lihat wanita kotor itu, lihat! dasar
wanita sundal." Bayangan wajah orang-orang mencemooh menghantuiku.
"Nisa itu tampangnya saja polos, dalamnya luar biasa
busuk." Aku membayangkan semua orang melemparkan tatapan tajam ke arahku.
"Bukan aku, bukan akuuuuuuuuu!" Aku menangis, aku
menutup telinga dari semuanya. Duhai para manusia kejam; Laki-laki yang
bermodal rayu dan nafsu, wanita yang merasa dirinya paling suci. Aku benci
hidup di tengah-tengah manusia seperti kalian, aku muak! Terutama laki-laki itu.
"Setan! Laki-laki itu setan!" Kali ini
aku berteriak lebih keras dan liar, aku ingin mereka tahu bahwa laki-laki itu
busuk.
Berbulan-bulan sudah aku mendekam di dalam kamar. Aku
sadar, manusia kotor dan sampah sepertiku memang tidak pantas berada di antara
manusia suci. Aku memutuskan untuk pergi ke tempat yang bisa menampung sampah
sepertiku.
Berdirilah aku di sini. Tempat yang gemar sekali didatangi
oleh laki-laki seperti Joni. Awalnya aku hanya menganggap tempat ini sebagai
pelarian hidup. Lama-kelamaan aku mulai menikmati kehidupan baruku di sini.
Jangan tanya padaku bagaimana dengan janinku, sudah jelas bukan, aku tidak
punya pilihan selain menggugurkannya. Aku menikmati peranku sebagai wanita
pemuas kaum adam. Toh, hidupku sudah kotor. Setiap harinya aku bergumul bersama
laki-laki. Sama sepertiku, mereka datang membawa keluh kesah masing-masing. Ada
yang kecewa dengan istrinya yang mandul, ada yang mencari pelampiasan karena
istrinya selingkuh, atau mereka yang memang laki-laki bejat seperti Joni.
Sementara aku datang untuk menunggu Joni. Aku yakin Tuhan akan memberikan
kesempatan untuk mempertemukan kami. Aku menunggu saat-saat itu.
Sekarang, semua pria di sini menginginkanku. Mereka tak
mengenal Nisa yang polos dan lugu. Mereka hanya mengenal Salma yang cantik,
menyenangkan, dan seksi. Ya, sekarang aku pandai merayu dan membahagiakan
laki-laki. Membawa mereka ke puncak kenikmatan duniawi adalah keahlianku.
Seperti malam ini, laki-laki keturunan Tionghoa itu masih betah berlama-lama di
atas tempat tidur denganku. Aku tak masalah. Toh laki-laki ini kaya raya, dia
membawaku ke hotel berbintang di Ibukota. Aku memang pilih-pilih soal
pelanggan. Biar bagaimanapun, aku tidak mau disentuh oleh sembarangan
laki-laki. Biasanya aku memilih laki-laki yang berkelas, yang tahu bagaimana
bersikap dan tidak asal memilih tempat.
Dia masih sibuk membelai tubuhku. Laki-laki memang tak
pernah puas. Makhluk buas seperti mereka tidak akan pernah cukup dengan satu
wanita. Aku tahu laki-laki ini masih lajang. Di usia sepertinya, hasrat
laki-lakinya masih memuncak. Dia masih ingin mendengarkan desahanku. Beberapa
kali aku melenguh, yang langsung disambut oleh erangannya. Suara kami beradu.
Aku benar-benar menikmatinya. Berbeda dengan dulu, aku hanya bisa merasakan
sakit, baik jiwa maupun raga. Tidak ada kenikmatan yang kurasakan dari sentuhan
Joni.
Kami berlomba-lomba mencapai kenikmatan itu. Hingga ketika
kami berhasil meraihnya, Laki-laki Tionghoa itu tersenyum puas kepadaku.
“Kamu memang pandai sekali, aku tidak salah memilihmu.” Dia
berkata dengan lembut, khas laki-laki ketika sudah diberi kepuasan. Dia
mengecup keningku.
Kalau ditanya apa aku bahagia dengan semua kenikmatan semu
ini? Tidak, aku tak pernah bahagia. Aku hanya menipu diriku sendiri.
Sebenarnya, akulah yang memanfaatkan laki-laki untuk menegaskan betapa kotornya
diriku. Aku lah yang menggunakan mereka untuk mencapai tujuanku. Aku ingin
setiap laki-laki yang membeli tubuhku, merasakan betapa luar biasanya diriku.
Hingga nantinya mereka akan menyerukan namaku di setiap obrolan mereka. Ya,
laki-laki bejat seperti mereka, ketika berkumpul yang dibicarakan hanya wanita.
Aku ingin nama Salma terdengar sampai ke telinga Joni. Biar saja, aku dijadikan
piala bergilir oleh mereka. Asalkan mereka mengantarkan aku sampai ke tujuanku.
Bertemu Joni.
Aku sudah banyak mencari tahu tentang Joni. Dia masih sama
bejatnya seperti dulu. Masih suka pulang pagi, mabuk-mabukan. Kudengar ada
wanita yang bunuh diri, karena dihamili olehnya. Dasar biadab!
Joni sering menghabiskan malam di tempat sepertiku. Dia
juga telah menjadi pegawai negeri. Aku benci membayangkan mukanya yang semakin
sengak dan licik itu. Aku tak pernah membenci Tuhan yang memberikan kesuksesan
materi kepada orang seperti Joni. Toh, uang mereka juga untuk kami. Aku hanya
benci dengan laki-laki yang memanfaatkan kuasanya untuk menaklukkan wanita.
Hampir satu tahun aku menjelajahi tempat kotor ini. Hampir
semua laki-laki di sini telah merasakan tubuhku. Tapi aku belum puas. Mangsa
yang kutunggu-tunggu masih belum datang menghampiriku. Aku telah memasang umpan
yang begitu menggoda, menggiurkan bagi laki-laki. Namun Joni belum juga
kelihatan batang hidungnya.
“Salma?” Panggilan itu masih asing di telingaku sendiri.
Teman satu kerjaan denganku baru saja menepuk bahuku.
“Ya? Ada yang pesan?” Tanyaku dengan nada menantang. Hari
ini aku memakai gaun beludru hitam backless. Aku
sengaja memilih hitam, karena kontras dengan kulitku yang putih. Model baju ini
juga sangat menonjolkan lekuk tubuhku. Rambutku digelung anggun dengan tusuk
perak klasik.
“Gila! kamu pakai pelet apa sih? Masa tiap malam ramai
terus, bagi-bagi rezekinya sedikit lah.” Temanku itu memang kurang laris jika
dibandingkan denganku. Ya, memang sih dia juga punya pelanggan tetap. Tapi
tipe-tipe pelanggannya jauh di bawah standar pelangganku. Aku hanya
menyunggingkan senyum di bibir yang telah kupoles dengan lipstik merah
menggoda. Aku mengedipkan mata sebelum pergi menghampiri laki-laki yang telah
menungguku.
Seperti biasa, aku berjalan santai menghampiri laki-laki
itu. Dia juga menyapa dengan elegan. Tidak bersikap genit terhadapku. Bagus,
sesuai seleraku.
“Vodka?” Tanyanya menawarkan minuman. Aku menyambut minuman
pemberiannya.
“Sudah berapa lama?” Dia bertanya kepadaku. Oh rupanya dia
pendatang baru di sini.
“Kenapa? Takut salah pilih? Aku bukan amatiran kok.” Aku
meyakinkannya. Dia hanya mengangguk mantap.
“Yuk, aku sudah memesan tempat spesial.” Bak peragawati,
dia berjalan tegap sambil menggandeng lenganku. Baru saja kami akan masuk ke
dalam mobil, saat itulah aku melihat Joni. Dia turun dari mobil jeepnya.
Mukanya terlihat sama persis. Aku menghentikan langkahku.
“Maaf, aku tiba-tiba haid. Bagaimana kalau ganti hari?
Nanti aku kasih diskon spesial.” Aku bertanya dengan lembut sambil merapikan
kemejanya.
“It’s ok, next time saja.”
Katanya sambil tersenyum. Lega rasanya. Inilah keuntungan mempunyai pelanggan
berkelas.
Aku lantas masuk ke dalam bar, menyusul Joni. Aku tidak
ingin kehilangan jejaknya. Dia tengah minum sambil berbisik kepada wanita. Aku
tahu sebentar lagi dia akan datang menghampiriku. Aku duduk manis di meja bar
sambil memesan minum. Aku sengaja duduk berlawanan arah dengannya. Aku
penasaran bagaimana reaksinya nanti setelah melihat wajahku. Benar saja, aku
melihat dari kejauhan temanku datang menghampiriku.
“Sal, sudah selesai kan? Cepat juga. Ada pelanggan baru
lagi tuh, mintanya yang paling spesial di sini.” Temanku tidak tahu bahwa
laki-laki itu adalah tujuan utamaku datang ke sini.
“Oke, asalkan tarifnya sesuai.” Kataku mengiyakan. Temanku
langsung ke tempat Joni. Dia berbisik kepada Joni, disusul dengan anggukan
kepala Joni.
Sebentar lagi.
Aku deg-degan. Bukan gugup karena mendamba kehadirannya.
Melainkan aku penasaran akan seperti apa sikapnya nanti. Aku pura-pura duduk
manis, berbicara dengan bartender. Aku
melihat pantulan Joni dari kaca rak minuman. Dia berjalan dengan percaya diri
ke arahku.
“Salma, bukan?” Dia menepuk sambil memijit pundakku dengan
lembut. Brengsek! Belum apa-apa sudah berani seperti ini.
“Bukan.” Aku berbalik badan, menatap langsung ke wajahnya.
Aku tersenyum melihat dirinya mematung. Kaget?
“Nisa?” Tanyanya dengan polos.
“Masih ingat rupanya, kupikir Mas sudah lupa.” Aku
tersenyum manja sambil mengelus lehernya. Dia hanya diam saja sesaat.
“Sejak kapan kamu seperti ini?” Tanyanya sok peduli dengan
keadaanku.
“Loh seperti apa? Mas kan tahu aku dulu juga pernah menjadi
wanita Mas.” Aku masih pura-pura manja dengannya. Aku ingin sekali meludahi
wajahnya yang mendadak tergoda dengan elusan tanganku di lehernya. Joni, Joni!
Sentuhan seperti ini saja sudah bisa membiusmu. Tanganku berpindah ke arah
dadanya. Kuelus kembali dengan sayang.
“Mas sudah tidak penasaran lagi denganku?” Tanyaku sambil
tetap mengelus dadanya.
“Aku… Eee… kamu tidak marah denganku, soal waktu itu? Kamu
tahu kan aku sedang mabuk waktu itu. Aku juga berusaha mencari kamu. Tapi,
karena aku sudah resmi jadi pegawai negeri, aku beberapa kali ditugaskan ke
luar kota. Syukurlah kita sudah bertemu seperti ini, kamu juga tambah cantik.”
Dia berkilah sambil membelai rambutku. Tatapannya mulai menunjukkan bahwa dia
lapar. Omongannya terasa seperti pedang yang menusuk luka lamaku. Hampir saja
aku mencengkram kerah bajunya. Aku harus bisa menahan diri.
Begitu cepat Joni masuk ke dalam perangkapku. Aku
mengajaknya ke kamarku sendiri. Kamar nomor 13. Selain hotel, aku memang suka
melayani laki-laki di kamar ini. Awalnya Joni ingin memesan kamar mewah di
hotel berbintang sebagai hadiah spesial untuk pertemuan pertamanya denganku.
Tapi aku menolak, karena ini pekerjaan, bukan urusan hati.
Aku menutup gorden jendela. Aku memasang senyum manis
menggoda kepadanya. Dia bangkit dari tempat tidur, menghampiriku yang berdiri
di depan jendela. Dia memelukku. Kami mulai saling memercikkan api cinta.
Percikan-percikan yang kami hasilkan membuat Joni menggiring tubuhku ke atas
tempat tidur.
Seperti dulu, dia mulai menjelajahi tubuhku. Dia memulainya
dengan perlahan. Hingga kehangatan menjalar ke seluruh tubuh kami. Peluh
menetes dari wajahnya. Aku baru tahu ternyata dia pandai sekali membuatku
mendesah, melenguh karena sensasi sentuhannya. Kami semakin dalam terbawa
kenikmatan cinta. Aku melihatnya menikmati setiap lenguhan yang keluar dari
mulutku. Dia mulai menggila, erangannya mulai terdengar. Nafasnya semakin
memburu, sebentar lagi dia akan mencapai puncak kenikmatannya. Dan, ketika dia
hampir meraihnya, aku menancapkan tusuk rambut perakku tepat di urat lehernya!
Suaranya tercekat, bersama darah segar yang mengalir membasahi dadanya.
Percikan darahnya mengenai wajahku. Aku bangkit dari tubuhnya yang
sudah kaku.
Dendamku sudah terbalas.
Aku puas melihat tubuhnya yang telah menjadi mayat. Tatapan
lapar itu kini berubah menjadi tatapan kosong. Tidak ada lagi senyum nakal.
Hewan buas itu telah mati terperangkap oleh mangsanya sendiri.
Aku mengambil tabung kaca yang sudah sejak lama
kusembunyikan di dalam lemari. Tabung yang di dalamnya terdapat daging yang
telah diawetkan. Ya daging itu adalah janin anakku dan Joni yang telah aku
aborsi beberapa bulan yang lalu.
Aku menangis menatap janin itu. Janin yang sempat tumbuh di
rahimku. Janin yang dengan teganya telah kubunuh dengan tanganku sendiri. Semua
itu karena Joni sialan! Jabang bayi itu lalu kuangkat dengan tanganku yang
berlumur darah, dan kuletakkan di atas dada Joni.
“Hahaha Joni sialan itu sudah mati! Lelaki bejat itu sudah
mati! Aku telah membunuh dia dan anaknya hahaha.” Aku berteriak, aku
menjerit kesetanan.
Sekarang, ke mana lagi aku akan pergi? Sudah tidak ada lagi
tempat untuk wanita kotor, sampah, dan pembunuh sepertiku! Manusia yang merasa
dirinya begitu suci, tak akan pernah mau hidup berdampingan dengan manusia
kotor sepertiku. Aku menatap darah yang menetes dari mayat Joni dan janin itu.
Aku tersenyum, mencabut tusuk perak yang masih tertancap di leher Joni.
Kita akan berjumpa nak!