Lakon Takdir


Through all of this noise

Chasing a shadow

Why looking for answer, just leaves a question?

Behind the notes

And outside the lines

What you left behind

What i feel inside, i hear your voice...

Lagu itu...

Ponselku berbunyi. Ternyata aku belum mengubah nada deringnya. Nada dering yang mempertemukan kami, dari nada inilah semua kisah bermula. Aku tertawa miris mengenang kejadian 3 bulan yang lalu. Kejadian yang mempertemukan kami secara tak sengaja, kejadian yang membuatku sesak seperti sekarang. Tawa getir yang kukeluarkan saat ini hanya segelintir dari kegundahan yang kualami.

Aku masih ingat saat itu, mungkin sama persis seperti sekarang, aku tengah duduk meratap jalan yang lengang sambil menyeruput kopi panas di kedai ini. Lalu tiba-tiba dering ponselku berbunyi, aku celingak-celinguk mencari sumber suara itu, mengaduk-ngaduk isi tasku sambil sesekali mengomel pelan, lalu ada seseorang yang menepuk bahu sebelah kananku. 

“Maaf, apa ini yang dicari?” Dia menggenggam ponselku yang masih berbunyi. 

“Kamu meninggalkan ini di meja kasir.” Dia menjelaskan. 

Aku hanya menggangguk dan mengambil ponselku dari genggamannya. 

“Terima kasih.” Dia hanya bergumam pelan. 

Baru saja aku ingin mengangkat, deringnya sudah berhenti. Semenit setelahnya, dering itu kembali terdengar, tapi bukan dari ponselku, melainkan dari ponsel pria tadi. 

“Maaf, kali ini giliranku.” Dia melemparkan senyum yang sangat khas. 

Aku baru sadar kalau ternyata kami mempunyai dering ponsel yang sama. Sungguh kebetulan. Dia masih sibuk berbicara di telepon, sesekali bergumam pelan, dan kelihatannya itu telepon penting, terlihat dari raut wajahnya yang serius. 

Sepuluh menit kemudian, dia duduk di hadapanku. Semuanya mengalir begitu saja, entah siapa yang memulai, kami mulai saling bercerita tentang kehidupan kami masing-masing. Tentang aku yang sering ke sini sepulang kuliah karena berdekatan dengan kampus, tentang dia yang setiap senin dan kamis ke sini hanya untuk berbuka puasa karena lokasi kampusnya yang lumayan jauh, rupanya dia salah satu pria yang jarang kutemui. Atau tentang kami yang kebetulan mempunyai nada dering yang sama. 

Semuanya seperti air yang berdiam di wadah, selalu mengikuti bentuk wadahnya. Kami hanya menjalankan aktivitas seperti biasa, dan hanya mengikuti takdir yang seharusnya.

Semenjak itu kami selalu bertemu setiap senin dan kamis. Mulai terbiasa membahas kehidupan masing-masing, mulai dari kehidupanku di kampus, hobi menulisku yang setengah-setengah, atau dia yang ternyata mempunyai bakat dan minat yang sangat tinggi di bidang teknologi. Semua seperti lagu yang disyairkan, indah di dengar walaupun belum tentu paham maksud dari pertemuan ini. Semua seperti cerita yang kutulis, baru sampai permulaan dan belum tahu bagaimana akhir dari permulaan ini. 

“Kamu kapan mau mulai puasa senin kamisnya dek?” Tanyanya, lagi-lagi dengan senyum khasnya.

“Minggu depan yah mas hehe.” Aku membalasnya dengan tawa renyah, setengah malu maksudnya. Malu karena aku belum bisa sepertinya. Entah siapa yang memulai, kami sudah terbiasa dengan panggilan itu. Terbiasa dipanggil seperti itu.

Minggu-minggu selanjutnya aku mulai tak sabar menantikan hari kami bertemu. Rasanya aku hanya ingin ada dua hari saja dalam seminggu. Aku pun mulai mengikuti kebiasaannya berpuasa di senin dan kamis. Entah kami berdua menyadari atau tidak, semakin lama kami semakin akrab, semakin lama kami semakin asyik memerankan skenario yang berjudul takdir ini. Sudah dua bulan kami memainkan skenario yang belum mempunyai akhir ini. Di sini lah babak baru dimulai, babak yang menandakan bahwa cerita telah berada di tengah skenario. 

Sore itu ba’da maghrib hujan sangat deras, aku menyeruput kopi panas sambil menanti sosok yang dua bulan terakhir selalu mengisi bangku di hadapanku. Lima belas menit aku menunggu, dia tak kunjung datang. Setengah jam aku menunggu, kopiku sudah habis, sementara hujan semakin deras.

Kemana kamu mas?

Hari bahagia yang biasa kunanti tiap minggu sekarang berubah menjadi kosong, karena bangku dihadapanku tak mempunyai Tuan lagi. Aku  menatap gelas di hadapanku, kosong. Entah kenapa semuanya menjadi serba kosong?

Minggu selanjutnya dan selanjutnya lagi, aku juga belum melihat sosoknya. Lagi-lagi bangku dihadapanku harus kehilangan Tuannya. Malang sekali nasib bangku itu, pasti terasa dingin karena tidak ada yang menempati tiga minggu terakhir. Aku kembali melampiaskan kekesalan dengan kopiku. Kuhabiskan dalam dua kali teguk, lidahku rasanya mati rasa dan kebal terhadap panas. 

Aku melangkah gontai berjalan meninggalkan kedai. Lalu tiba-tiba terdengar dering itu. Bukan ponselku, mungkinkah? Suaranya terdengar dari belakang. Aku menoleh ke belakang dan mendapatinya tengah berbicara di telepon. Lega sekaligus bahagia hanya dengan melihat siluet tubuhnya. Aku bahkan tidak menunjukkan kekesalan yang selama ini kupendam karena absennya dia di hadapanku, melainkan perasaan lega karena dia dalam kondisi baik-baik saja. Dia menutup teleponnya dan menatap ke arahku, kami bertatapan selama beberapa detik. Kakiku bahkan sudah tak sabar berjalan ke arahnya. 

Sekarang, aku mendapati diriku berada di hadapannya. Sekarang, kursi di hadapanku telah memiliki Tuan lagi. Sekarang, aku tidak harus menghabiskan kopiku dalam dua teguk sekaligus.

“Maaf ya dek, mungkin nanti ke depannya kita gak bisa sering ketemu lagi.”


 Aku merasa kopi yang kupegang dingin, bukan karena cuacanya yang dingin, mungkin karena tanganku yang tiba-tiba menggigil. Aku tidak berani menatap wajahnya, tidak, aku bahkan tidak kuat mendongakkan wajahku ke hadapannya. Aku hanya menunduk dalam-dalam, menatap gelas kopi yang kupegang. Rupanya perasaan lega dan bahagia yang kurasakan bias disapu dinginnya suasana saat ini. Aku ingin menuntut penjelasan, setelah apa yang kami lalui dua bulan terakhir. Kami tidak pernah terbuka soal perasaan satu sama lain, tetapi kami saling memahami perasaan kami satu sama lain. Apa artinya selama ini aku tidak memahami perasaannya? Sungguh aku ingin menuntut itu, tapi genangan air di pelupuk menghambat semuanya. Jatuh tak tertahan. Aku terisak.

“Dek?” Dia menunduk menatap wajahku lamat-lamat.

Aku masih berdiam diposisiku.

“Dek?” Lagi-lagi dia memanggil.

Aku pun masih berdiam di posisiku.

“Astaghfirullah Dek, mungkin mas saat ini jahat, atau kejam. Tapi percaya Dek, ini demi kebaikan kita.” Dia bersuara dengan nada setengah frustasi. Aku pun frustasi tidak paham dengan semua kalimat yang dia lontarkan.

“Kenapa?” Suaraku terdengar lirih, sangat lirih. 

“Mas tidak ingin kita terlalu jauh dek, bukan, bukan seperti yang kamu kira dek.” Dia buru-buru menambahkan setelah aku berani mendongakkan kepalaku ke hadapannya. Lalu apa? Tapi bibirku hanya diam menunggu dia melanjutkan kalimatnya.

“Mas hanya tidak mau goyah dan terjebak dalam ikatan semu, mas hanya mendambakan ikatan yang seharusnya. “  Dia berbicara sambil menghela nafas.  Aku makin tak paham apa yang dia katakan. Ikatan? Ikatan apa? Tapi sebelum aku bersuara, dia kembali melanjutkan.

“Kita sama-sama paham perasaan kita satu sama lain selama dua bulan terakhir ini, tanpa harus mas jelaskan perasaan mas selama ini. Mas hanya laki-laki yang masih dipenuhi hawa nafsu, mas masih ingin terus istiqomah di ajaran-Nya dek, Mas tidak mau goyah karena pertemuan kita selama ini dan akhirnya terjebak dalam ikatan pacaran.” Ada jeda setelah dia menjelaskan dengan gamblang penyebab keabsenannya selama ini. 

“Beri mas waktu dek, sampai mas bisa menata kembali perasaan mas, sampai mas berani dan siap bertemu seperti ini.” 


Lalu bagaimana denganku?  Bagaimana dengan kursi di hadapanku yang  kembali kehilangan tuannya?

“Terusin puasa senin kamisnya ya dek, jangan putus. Mas percaya kalau kamu lebih dewasa dari kelihatannya.” 

Dia mengucapkannya sambil tersenyum, senyum khas yang pertama kali dia perlihatkan di awal pertemuan kami. 

Aku masih terisak.

Dia pergi meninggalkan bangku di hadapanku. 

Aku masih diam terisak.  

Aku baru benar-benar menegakkan kepalaku setelah sosoknya benar-benar menghilang di hadapanku. 

Yaa Rabb sungguh aku bingung, mengapa kami harus dipertemukan jika memang tidak Kau ridhoi? Tanganku masih kaku menggenggam gelas kopi, badanku menggigil meredam isakan tangis. Setengah jam aku masih betah diposisi ini, kuhabiskan kopiku lagi-lagi dalam dua kali teguk. Tapi kali ini bukan panas yang menyambut lidahku, melainkan rasa dingin dan pahit. Aku tertawa, tertawa getir setelah tahu akhir cerita apa yang kami perankan.

Benar, dari awal kami memang seperti air yang mengikuti bentuk wadahnya, dari awal kami hanyalah lakon yang memerankan skenario yang berjudul takdir. Jika memang ini akhir cerita yang ditulis dalam skenario, kami tidak ada hak untuk menuntut apapun, kami hanya dituntut untuk memerankannya sebaik mungkin.


***


Sekarang setelah tiga bulan berlalu, aku kembali ke posisiku semula,  posisi sebelum mengenalnya. Aku kembali menjalani rutinitasku seperti biasanya. Ke kampus, ke kedai ini seperti biasa, menulis, berharap akhir cerita yang kutulis tidak seperti akhir cerita yang kuperankan. Aku juga tetap menjalankan kebiasaan baruku-puasa senin kamis. Bangku di hadapanku juga masih kosong tak bertuan. 

Bedanya, aku tidak lagi terbiasa menghabiskan kopiku dalam dua tegukan sekaligus. Aku sudah bisa menikmati tiap hisapan yang kuserap dari panasnya kopi. Air sudah menetap di wadahnya, sama sepertiku yang sudah menetap di posisiku yang seharusnya.

Nyaman? Kenyamanan bisa dicari dari sudut manapun, bukan berarti kita harus melibatkan lawan jenis hanya untuk menuntut kenyamanan. Terbiasa? Ya, aku sudah terbiasa menghabiskan 2 hari dalam sepekan bersamanya, tapi rasa ketergantungan yang tidak semestinya tidak patut kutanamkan dalam diriku. 
Ah aku lupa, sedari tadi dering ponsel itu masih berbunyi, aku lupa kalau aku belum merubah nadanya. Nama yang saat ini sangat tidak ingin kudengar tertampang jelas di layar ponselku. Aku tak mengubrisnya. Ini panggilan pertama darinya setelah tiga bulan berlalu. Entah apa maksudnya, entah apa yang akan dia katakan jika aku mengangkat teleponnya. Bukankah sudah jelas? Aku merasa aku sudah cukup jelas dan mengerti dengan keadaan ini. 

Aku masih menyeruput kopiku yang masih mengebul, menikmati setiap sentuhan lembut di lidahku, menikmati jalan yang lengang dan berembun karena hujan, menikmati kekosongan yang sekarang menemaniku. 

Aku memejamkan mata sambil menghirup aroma kopi, lagi dan lagi begitu seterusnya, sampai tepukan bahu di sebelah kanan menyadarkanku. 

Aku menoleh. 

Mendapati pria kurus bertopi dengan janggut tipis berdiri di sebelahku. Dia menyodorkanku sebuah kertas, bukan, melainkan undangan. 


Tunggu?!! 

Aku tak mengenalnya!


Aku mendongakkan kepalaku lebih tinggi, mencari celah di antara topi yang dipakainya. Aku menyipitkan mata berusaha menerka-nerka. 

Siapa dia?

Dia mengerti maksud tatapanku. Dia membuka topi yang menyembunyikan separuh wajahnya. Pria itu kurus, lebih kurus dari terakhir kali aku bertemu dengannya, dan sejak kapan tumbuh janggut tipis di sana? Aku mendelik tajam. 

“Mas?” Tanyaku heran. Dia menyeringai, lagi-lagi mengeluarkan senyum khasnya.  

Ada apa? Pikirku.  

Dia kembali menyodorkan undangan yang dia pegang. Aku menerimanya. Dia kembali duduk di hadapanku, kembali menjadi tuan bagi kursi di hadapanku. Aku masih ragu dengan maksud kedatangannya.

“Buka dek.” Suaranya menegaskan kedatangannya. Aku membukanya pelan-pelan. Ternyata undangan pernikahan, ternyata dia akan menikah. Aku tersenyum getir tidak kuat membaca nama yang terpampang jelas di bawah namanya.

“Kenapa gak diangkat dek telponnya?” Aku masih diam.

“Dek?” Tanyanya lagi, kali ini sambil menunduk, dan kembali menatap wajahku lamat-lamat.

“Sudah dibaca undangannya?” Dia bersuara lagi. Entah apa yang dipikirannya. Entah apa dia tak paham maksud dari sikapku yang mengunci mulut.

“Sudah.” Aku hanya berkata singkat, ingin menyudahi obrolan ini secepatnya.

“Bagaimana dek?” Bagaimana apanya? Aku tak mengerti, apa dia hanya menguji perasaanku saja.  Aku menatapnya bingung.

“Bagaimana? Mas butuh jawaban.” Aku mendongakkan wajahku ke hadapannya seperti waktu itu. Kali ini aku berani menuntut penjelasan.

“Jawaban atau ucapan selamat atas pernikahan mas?” Aku mengeluarakan suaraku cukup lantang, meski air di pelupukku lagi-lagi menandakan bahwa aku goyah, goyah dengan sikap tegarku.

“Bagaimana menurutmu dengan calonnya?” Dia lagi-lagi menanyakannya.

 Aku menahan kesal, dan amarah. Astagfirullah sungguh kejam kamu mas menguji perasaanku seperti ini, aku bahkan tidak tahu dan tidak mengenal siapa calonnya, untuk apa harus mengeluarkan pendapat tentang calonnya. Aku membaca sekali lagi undangannya, kuberanikan membaca nama yang tertera di bawah namanya, ditulis dengan tinta emas timbul, sungguh indah nama yang terpahat di sana. 

Tunggu! 

Aku melongo menatap wajahnya. 

Dia malah tersenyum menyeringai. 

Aku masih melongo. 

Dia malah melebarkan senyumnya.

“Mas sekarang sudah siap dan berani dek.”

Aku kembali menatap undangannya. Ada dua nama yang terukir di sana.

Adzam Malik

&

Annisa Qhoiryah

Aku, Annisa Qhoiryah bahagia mengenalnya, Adzam Malik. Aku bahagia bahwa akhir cerita yang kami perankan sangat indah seperti syair, seperti arus air yang berdesing yang menyerukan bahwa beginilah akhir yang seharusnya.


Selesai...



  

0 komentar