Satu-satunya alasanku bertahan, bukan karena ego yang menghampiri. Ego untuk mengakui bahwa aku telah kalah dalam angan, bahwa aku tlah tunduk pada ketakutanku. Aku masih punya tubuh yang harus terus berdiri, meski lagi-lagi harus ditopang oleh senyummu.
Rasanya aku malu mengeluh hanya karena satu angan tak berpihak padaku, sedangkan kau sudah terbiasa mengorbankan semua angan demiku, sudah terbiasa melihat nasib tak berpihak padamu.
malam itu, aku kembali jatuh. Benar-benar jatuh. Aku merasa hina yang teramat, seakan aku tak layak untuk siapapun, seakan aku merasa paling bodoh, seakan aku merasa tak beruntung karena harus direndahkan untuk bisa bangkit dan paham apa tujuanku. Kau menangis, memohon maaf padaku, maaf sambil senyum menguatkan, mengangkat tubuhku dalam rangkulmu. Aku terisak tak tertahan. Aku mengeluh dalam jerit sakit.
"Maaf, karena kau harus merasakan sakit terlebih dahulu, ini semua salahku."
Aku menggeleng. Akulah yang tertuduh di sini. Aku hanya menghambat dirimu untuk menggapai cinta-Nya. Maafkan aku karena masih belum bisa memudahkanmu meraih cinta-Nya. Tapi tubuhku masih menggigil meredam isak yang terus membuncah, sedangkan kata hanya terkunci oleh tatap. Aku membeku dalam rasa bersalahku padamu.
Adakah seseorang di sana yang sepertimu?
Aku tahu sejak dulu, kau lupa hari lahirmu, lebih tepatnya kau tidak ingin tahu, karena hal itu begitu buta di matamu.
Tangisku berubah menjadi teriakan.
Aku hanya berharap teriakanku membuatmu berhenti menyalahkan dirimu. Ini hidupku, akulah yang bertanggung jawab atas diriku, jika ada yang harus disalahkan, salahkan saja jiwa ini yang terlalu rapuh digoyahkan dan dirubuhkan, tapi kau lagi-lagi bersuara.
"Maafkan aku. Kelak jangan jadi sepertiku. Kelak kau harus lebih cerdas, lebih beruntung. Jangan mau menjadi wanita merugi, karena kelak kau akan menjadi madrasah utama bagi anakmu."
Empat huruf yang sedari tadi ku tahan, akhirnya kuucapkan dengan setengah teriak, berharap suaraku lebih lantang dari isakanku.
"MAMA!"