"Rahma?" Suara itu, Ya tuhan aku tak ingin mendengar suara itu lagi, entah setan apa yang sudah menggodaku, aku malah berbalik menghadap asal suara itu. Aku menatapnya, dia tidak banyak berubah, kacamatanya, cara berpakaiannya dan potongan rambutnya, semuanya sama. Persis seperti 4 tahun lalu.
"Firman.."
Aku memanggil namanya dengan lirih, dia membalasnya dengan senyuman.
Aku ingin dia menghentikan senyuman itu, senyuman yang membawaku menjadi seperti sekarang.
"Ku pikir kau tidak akan datang mengingat kau sudah menjadi penulis hebat seperti sekarang." Dia membenarkan letak kacamatanya dengan santai, sementara aku, lidahku kelu ingin menjawabnya.
"Mana mungkin aku tidak datang, aku sudah ditunjuk menjadi narasumbernya kan?" Aku membantah ucapannya.
"Ah ya kau benar." Dia menimpali ucapanku. Ingin sekali aku bertanya tentangnya. Mataku masih saja haus akan pemandangan di hadapanku, sementara pikiranku menyuarakan agar menjauh dari hadapannya.
"Sebentar lagi acaranya akan dimulai, kau tidak lupa kan gedung auditoriumnya? Masih sama seperti dulu." Aku mengangguk mengiyakan.
Di sinilah aku, menghadiri acara bedah buku terbaruku, di kampus yang membesarkan namaku, yang memberikan goresan terkelam dalam hidup sekaligus memberikan keteguhan yang hakiki. Bodoh sekali aku tidak mengetahui jika Firman menjadi dosen sekaligus penyelenggara acara di kampus ini dan tanpa bertanya aku langsung mengiyakan ketika mendapatkan tawaran ini.
Rahma Anindya atau yang lebih dikenal dengan penulis inspiratif wanita. Ya, itulah aku wanita yang mencari ketenangan dan keteguhan hakiki yang sampai saat ini masih terus ku kejar. Biarlah masa lalu menjadi pompa dalam semangatku untuk mencari ketenangan dan keteguhan dalam ajaran-Mu.
Syukurlah acaranya berjalan lancar, hanya butuh dua jam aku bergelut dengan pikiranku. Pikiran untuk cepat-cepat keluar dari gedung ini dan menjauh dari Firman. Acara ditutup dengan pembagian tanda tangan. Firman sempat menawariku untuk makan bersama di sela-sela kesibukanku mengobrol dengan penggemar. Aku menolaknya mentah-mentah, bukan karena aku jual mahal, tapi mengingat statusnya yang sudah menjadi suami orang aku tak ingin dicap menjadi perebut suami orang. Apa kata orang nanti jika Rahma Anindya penulis inspiratif wanita malah menghacurkan rumah tangga orang? Sangat berseberangan dengan predikat yang aku sandang. Tapi? Ah sudahlah lebik baik aku segera pulang.
"Rahma... Rahma" Firman kelihatan kehabisan nafas berlari mengejarku.
"Ada apa?" Tanyaku ketus.
"Aku hanya ingin kita bicara." Katakan saja disini, pikirku.
"Bukan disini, tapi di tempat lain." Katanya seakan bisa membaca pikiranku.
"Apa yang ingin kau bicarakan?" Aku sambil mencari-cari kunci mobilku di dalam tas, sial kemana kuncinya? Pikirku panik.
"Setelah kita makan aku baru akan membicarakannya, lebih baik kita makan dulu sambil kau mengingat-ngingat di mana kau letakkan kunci mobilmu." Aku mendongak menatapnya.
"Rupanya kau masih tidak berubah Rahma, masih ceroboh seperti dulu." Aku mendengus sebal mengikuti langkahnya menuju mobil sedannya.
"Sekarang katakan apa sebenarnya yang ingin kau bicarakan?" Aku langsung memburunya ketika sudah menduduki bangku resto di seberang kampus.
"Begini, aku ingin membuat pesta ulang tahun, dan aku ingin kau menghadiri pesta itu." Katanya dengan terus terang.
"Kenapa aku harus hadir? Pesta itu tetap akan berjalan kan tanpa kehadiranku?" Aku menatap heran setengah sungkan.
"Begini Rahma, sebenarnya yang berulang tahun itu peri kecilku, dan dia sangat suka dengan buku-bukumu" Jelasnya. Oh jadi aku diundang karena anaknya ingin aku hadir di pestanya. Ya Tuhan Firman, entah yang ke-berapa kalinya kau membuat goresan tajam ini, hati kecilku sedih karena anaknyalah yang menginginkan kehadiranku bukan dirinya.
"Aku tidak bisa Firman" kataku tegas.
"Tolonglah Rahma, aku ingin melihatnya bahagia" Dia memohon demi kebahagiaan putrinya. Andai saat itu dia menahan kepergianku seperti ini, ah tidak! Aku menggelengkan kepala memprotes pikiran gila yang baru saja singgah di kepalaku.
"Baiklah aku akan datang tapi hanya sebentar." Kataku yang masih gusar karena pikiran yang tadi.
"Kau masih baik seperti dulu Rahma, andai kita bisa memulai semuanya dari awal lagi." katanya setengah melamun.
"Sudahlah Firman semua itu sudah selesai ketika kau memutuskan untuk pergi.."
"Kau yang pergi Rahma, aku tidak pernah pergi." Dia memotong pembicaraanku.
"Aku pergi karena keinginanmu, karena kau tidak bisa memutuskan, karena kau hanya memberikan kebahagiaan sesaat, karena.. karena aku tidak mau terjerembab dalam kubanganmu, aku ingin menjadi wanita yang bebas tidak bergantungan dengan orang yang tidak berani membuat keputusan." Aku tersengal karena isak tangis yang ku tahan, ya Tuhan sudah cukupkah goresan itu melukaiku jangan kau timbulkan lagi goresan tajam itu.
"Rahma aku tidak..."
"Kabari aku kapan dan di mana pesta itu, sesuai janji aku akan datang."
Aku pergi meninggalkannya tanpa menoleh lagi ke belakang. Biarlah masa-masa kelam itu terkubur bersama pahitnya getir perjuanganku keluar dari kubangan gelap itu. Aku muak mengingat masa-masa itu, masa di mana aku masih terjebak dalam kebahagiaan semu, kebahagiaan bersama Firman yang perlahan aku sadari bahwa ini adalah perangkap yang diciptakannya. Beribu-ribu kali aku membasuh badanku yang kotor bersama kenangan-kenangan yang jauh lebih kotor, bodohnya aku membiarkan diriku terperangkap pada laki-laki yang tidak pernah bisa membuat keputusan, terlalu takut untuk membuat komitmen yang sejatinya lebih indah.
"Tinggalkan atau halalkan aku." Ini yang terakhir kalinya aku meminta kepastian, ini tahun ke empat kami menjadi mahasiswa, sudah satu tahun aku menjalin hubungan dengannya, dan sudah berapa kali aku meminta kepastian darinya.
"Rahma kita ini baru mau lulus, masih panjang jalan hidup kita, kenapa terburu-buru untuk menikah?" Aku ingat nada dan ekspresi jawabannya saat itu.
"Menjauh secepat mungkin dari dosa itu terburu-buru bagimu? Firman kita ini sudah dewasa, aku tidak mau kita terus-menerus menjalani hubungan seperti ini, aku ingin kita halal menjauh dari kubangan dosa yang sudah kita gali."
"Aku bisa apa Rahma? Aku harus membantu adikku yang sebentar lagi akan kuliah, mereka mengandalkanku." Katanya setengah frustasi.
"Tapi kenapa? Kenapa kau mengajakku masuk ke dalam kubanganmu Firman? Kalau kau takut terjerembab jangan kau gali lubang ini dari awal, dan kalau kau takut masuk kubangan itu sendirian jangan kau ajak aku ke dalamnya, karena aku tau pasti kau tidak punya jalan keluar dari kubangan itu." Aku menangis tertahan, tidak menyangka bahwa keseriusan Firman hanya sebatas ini.
"Rahma aku tidak bermaksud..."
"Setelah wisuda nanti aku akan melanjutkan S2 ku di Jerman, aku harap semuanya sudah jelas, aku tidak ingin masuk ke dalam perangkapmu lagi." Aku berlari sambil terisak, hatiku terpukul sekali karena kebodohanku sendiri yang membiarkanku terjerumus dalam ketidakpastian.
Aku memukul-mukul dadaku, sakit. Itulah yang kurasakan saat ini, kembali mengingat peristiwa kelam 4 tahun lalu. aku hanya bisa duduk bersimpuh di lantai kamarku, ingin mengenyahkan peristiwa itu selamanya.
Sekarang, aku kembali dan bangkit dari keterpurukan yang memenjarakanku selama ini. Sekarang pula aku telah sudih mengubur dalam-dalam kenangan itu tapi tetap tak ubahnya seperti luka yang bernanah, ia tak sepenuhnya mengering. Aku tak akan membiarkan firman menjadi pisau yang mengoyakkan lukaku. Tidak, setelah yang kulalui semua ini.
****
Drrt... drrt... drrtt ponselku bergetar. Rupanya sms dari nomor tidak dikenal.
Acaranya hari Minggu jam 4 sore. Ku harap kau menepati janjimu..
(Firman)
Aku membaca sekali lagi nama yang tertera di akhir sms itu. Firman? Ah ya, aku ingat janjiku padanya tempo hari lalu. Aku menyeruput jus jambuku untuk yang kesekian kalinya. Sambil menimang-nimang tentang keputusan yang telah ku buat dengannya. Mungkin lebih baik aku mengalahkan egoku untuk saat ini dan mencoba bersikap profesional sebagai seorang penulis yang memenuhi keinginan penggemarnya. Ya, sekarang masalahnya sudah beres. Aku meninggalkan kafe yang baru saja ku singgahi beberapa jam yang lalu setelah menghadiri wawancara mengenai buku baruku.
Aku celingak-celinguk mencari mobilku, aku yakin tadi aku parkir di sini, tapi kenapa tidak ada. Nah rupanya di sana, aku beranjak ke arah kanan, sebelum aku sempat memegang pintu mobilku, aku mendengar suara orang yang sedang bertengkar.
"Sudahlah Ana, aku tidak akan mengungkit masalah ini lagi, aku ikhlas jika memang itu keputusanmu, aku akan menjaganya Ana, tenang saja kau tidak usah khawatir soal itu."
Rupanya Firman tengah bertengkar dengan istrinya, tapi apa yang baru saja aku dengar? Apa itu artinya dia akan bercerai dengan istrinya? Huss.. Aku mengenyahkan pikiran gilaku, tidak baik berpikiran yang macam-macam, lagi pula mereka bercerai atau tidak, itu tidak ada urusannya denganku.
****
Keringatku membanjiri seluruh wajahku, sebenarnya badanku gemetaran, Mati-matian aku menahan agar diriku tidak limbung di tengah acara ini. Sialnya aku lupa makan siang tadi dan hanya memesan jus jambu di kafe tadi. Lagi-lagi, aku menjadi bintang tamu dalam acara Talk Show yang ratingnya sedang naik ini, tidak lain ya untuk mengupas kehidupanku selama menjadi penulis.
"Jadi apakah benar anda memulai karir sebagai penulis setelah kepulangan anda dari jerman?" Pembawa acara itu menatap wajahku yang tengah gusar, mungkin mengira aku tengah gugup melihat keringat yang ada di mukaku.
"Iya, mungkin kepulangan saya dari jerman membawa banyak inspirasi." Aku tersenyum menutupi wajahku yang memucat.
"Anda tidak berniat mencari pendamping hidup? Setelah kesuksesan yang anda dapat sekarang?"
"Tidak, aku belum sempat memikirkan itu, bagiku pendampingku saat ini hanya pena dan kertas." Aku tertawa masam.
"Ah ya bukankah anda pernah menjalin hubungan yang cukup lama dengan teman semasa kuliah dulu? Ku dengar hubungan itu berakhir tragis, dia meninggalkan anda dan hidup dengan seorang janda? Apa itu sebabnya anda trauma menjalin hubungan yang serius?" Kata-katanya terngiang di kepalaku, ku rasa sebentar lagi aku akan berputar, kepalaku seperti akan menari, pusing.
"Hahaha..." Aku tertawa mengenyahkan rasa pusing di kepalaku. "Trauma? Tidak, aku bukan tipe seperti itu, malah aku bersyukur atas semua yang terjadi padaku, aku bisa melahirkan karya yang dapat membangun semangat kaum wanita sepertiku, dan mengenai hubungan itu ya itu adalah cinta yang seharusnya tak bertepi pada orang yang salah, aku tak menampik hal itu, karena aku puas dengan keadaanku sekarang."
"Baiklah kalau begitu mba Rahma, terima kasih telah berbincang-bincang dalam Talk Show singkat kami ini. Tepuk tangan mengakhiri keteganganku, akhirnya aku tidak harus menahan diriku lagi agar tidak pingsan di tempat umum.
Aku membenamkan kepala di atas stir mobilku. Aku butuh istirahat dan banyak energi untuk besok. Aku putuskan untuk tidur di mobil, aku tidak kuat kalau harus menyetir dalam keadaan pusing.
Hujan...
Dimana ini? Firman? sedang apa Firman di sana? Ini adalah hujan pertama setelah kepulanganku dari Jerman, dan entah mengapa sosok Firman yang aku lihat dalam hujan pertama ini. "Aku akan menikahimu, kita akan berbahagia dengan Virna, peri kecil kita." Dia berbicara dengan seorang wanita yang cantik oh bukan melainkan sangat mempesona, dan apa tadi yang ku dengar? Dia akan menikahi perempuan itu? Astaga Firman? Aku memang tak lebih cantik, tapi kenapa kau tega berpaling dengan kerpegianku dan mendarat pada perempuan beranak satu itu? Aku salah, dia tidak cantik, dia hanya menggunakan pesonanya untuk memperalat Firman yang memang BUAYA. Cukup sudah aku tak ingin rasa bahagiaku yang baru mendapatkan gelar S2 tergantikan rasa nyeri karena melihatnya.
Sudah cukup...
Kepalaku terangkat dan aku merasakan lemas di sekujur tubuhku tapi sudah lebih kuat untuk bisa menyetir. Aku menyusuri jalan raya dengan hati mencelos karena kembali memimpikan peristiwa itu. Aku tersenyum getir, aku yang menanggung beban dosa selama ini tapi dia malah memilih untuk berbahagia dengan wanita beranak satu itu, melupakan kepergianku dan melupakan jerat dosa yang ia lilitkan padaku, dan sekarang? Aku malah berbaik hati mengiyakan keinginannya untuk menghadiri pesta anaknya besok? Aku pasti sudah gila!
****
Pesta itu tidak mewah tapi semua orang yang hadir dapat merasakan kebahagian yang berulang tahun malam ini.
HAPPY BIRTHDAY VIRNA!!!
Kalimat yang terpampang jelas saat aku memasuki pesta ini, aku sempat melihat photo yang terpajang di sudut ruangan, Firman dan istirinya saling berpelukan, mungkin sengaja dipasang sebagai dekorasi.
"Rahmah akhirnya kau datang." Senyum mengembang menghiasi wajahnya, ditatapnya seorang wanita cantik di sebelahnya. Siapa dia? Istri baru Firman? Apa benar yang ku dengar di parkiran waktu itu, Firman telah bercerai dan sekarang tengah mengandeng wanita pilihannya?
Wanita itu tersenyum kepadaku.
"Kau tidak lupa kan aku ke sini untuk memenuhi keinginan penggemarku, anakmu? Bukan untuk mengetahui siapa wanita baru yang akan kau pinang setelah kau menceraikan istrimu." Aku mendelik tajam ke arah wanita itu yang ekspresinya sulit dibaca sekarang. Sementara Firman...
"Bahahahahahahh maksudmu aku akan menikah lagi? Dengan siapa?" Firman tertawa heran melihat ekspresiku yang menatap tajam wanita di sebelahnya. "Oh astaga, kau tidak berfikir aku akan menikahi putriku sendiri kan?" Firman meraih wanita itu ke dalam pelukannya, dan apa yang dia bilang? Putri?
"Virna ini anaknya Ana, istriku. Dia baru masuk SMA dan aku bukan fedofil seperti yang kau pikirkan."
Aku hanya diam, malu. Apa yang barusan aku katakan?
"Ngomong-ngomong Rahma kenalkan ini putriku Virna" Virna mengulurkan tangannya, aku langsung menyambut ulurannya dengan senyum tulus sebagai permohonan maaf karena menyangkanya yang tidak-tidak.
"Mba Rahma bisa tanda tangan di buku diaryku?" Kata Virna penuh harap.
"Tentu." Aku menyambar buku diarynya, dia tengah berceloteh kalau diary itu dia tulis sengaja untuk melatih tulisannya agar sebagus karyaku dan tanda tanganku nanti biar jadi semangat kalau nanti dia jengah menulis, rupanya dia sangat manis.
"Dimana mamamu?" Dia malah menunduk lesu. Ada apa? pikirku.
"Mama tak akan datang, tak akan pernah." Firman merapatkan dirinya dengan putrinya.
"Ana menggugat cerai aku bulan lalu, saat ini kami tengah mengurus surat-suratnya, tapi Virna akan bersamaku, akan ingin membahagiakannya sebagai penebus kesalahanku di masa lalu, denganmu"
Kalimat terakhir Firman menghantam tanda tanya besar bagiku.
Virna meninggalkan kami berdua, aku hanya menunduk dalam-dalam, konyol! Apa yang barusan aku dengar?
"Rahma, ku mohon kali ini dengarkan aku, kau mungkin berpikir aku laki-laki yang tidak bisa membuat keputusan, aku akui dulu aku sangat gundah dengan pendirianku. Ketika aku bertemu Ana, aku kembali melihat sosok dirimu, Ana saat itu tengah frustasi karena ditinggalkan oleh suaminya demi wanita lain, ia menyesal melahirkan anak dari pria seperti suaminya itu, aku melihatnya terisak bersama putrinya, sungguh itu sangat memilukan. Aku teringat padamu, apakah seperti ini yang kau rasakan dulu? Tanpa pikir panjang aku menikahinya, aku ingin melindunginya dari luka yang ditorehkan oleh mantan suaminya, aku menganggap Ana adalah dirimu, wanita yang terluka karena pria yang dicintainya, aku berfikir dengan menikahinya aku menganggap bahwa aku bisa menembus kesalahanku padamu, aku ingin membuktikan bahwa aku bukanlah pria yang tidak berani berkomitmen."
"Lalu kenapa kau bercerai?" Aku berhasil membuka suara setelah lama terdiam karena penjelasannya barusan.
"Kau tidak dengar? Aku bilang Aku menganggap Ana adalah dirimu." Firman mencengkram bahuku, membuatku tersentak. "Kau tidak tahu betapa aku sangat tersiksa, Ana tahu bahwa selama ini aku tidak memandangnya sebagai dirinya, aku hanya memandangnya sebagai pengganti orang yang ku cintai, dia tidak bisa memenangkan hatiku karena dia tahu dari awal alasan aku menikahinya itu mutlak kerena aku mencintaimu." Firman menghela nafas untuk kesekian kalinya, dia menatapku lagi. Aku menelan ludah. Firman masih mencintaiku?
"Ya aku mencintaimu Rahma, kali ini aku akan menjeratmu ke dalam kebahagian, bukan jerat dosa yang telah ku kaitkan padamu." Dia menatap tajam ke manik mataku.
"Apa maksudmu?" Aku tak ingin tertipu lagi.
"Aku akan menikahimu Rahma, aku ingin menebus semuanya, aku ingin menghapus semua luka yang telah ku berikan, aku ingin kita terlepas dari beban dosa, jadilah halalku Rahma."
Yaa Rabb ini kah jawaban atas semua doaku? Haruskah aku senang? Apa benar dia jodohku?
Belum sempat aku menjawab, semuanya mendadak gelap, lenyap begitu saja.
****
"Rahma... Sayang? Kau dengar aku? Bangunlah Rahma."
Aku merasa seseorang mencium telapak tanganku. Aku membuka mata, perih. Kenapa aku di sini?
"Kau sudah sadar sayang? Syukurlah aku bisa mati melihatmu terus-terusan seperti ini." Dia menciumi tanganku lagi. Aku meringis, sakit. Perutku perih. Apa yang terjadi?
"Firman?" Kata yang berhasil ku ucapkan pertama kali.
"Iya ini aku sayang." Dia mengelus rambutku dengan senyum.
"Aku belum mengatakan kalau aku juga mencintaimu, aku ingin menjadi istrimu." Kataku dengan susah payah.
"Apa maksudmu sayang? kita sudah menikah. Kau bahkan tengah mengandung, kau tadi pendarahan dan aku panik setengah mati." Dia kembali mengelus rambutku.
APA??! Sudah menikah? Bukankah semalam dia baru saja menyatakan perasaannya, dan apa katanya tadi? Mengandung? Pendarahan? Aku memegangi perutku dan menyadari semanjak tadi aku menahan perih. Aku meringis kesakitan.
"Sakit?" Aku mengangguk lemah.
"Kata dokter kau terlalu tegang dengan kehamilan pertamamu ini, tapi jangan khawatir dia sangat kuat untuk kita." Dia mengelus perutku. Benarkah semua ini?
"Kau kenapa?" Tanyanya heran.
"Bukankah kita semalam berada di pestanya Virna dan aku pingsan, bahkan kau baru melamarku semalam? Kenapa kau bilang kita telah menikah dan aku sedang mengandung anakmu? Apa yang sebenarnya terjadi?"
"Kau memang pingsan saat ulang tahun Virna tapi itu sudah 6 bulan yang lalu."
Apa? 6 bulan yang lalu? "Tunggu dulu, kenapa aku tidak ingat apapun setelah pingsan?"
"Kau tidak ingat? Kau sangat tegang ketika mengandung, aku khawatir kehamilan ini membuatmu stress, jadi aku menyuruh Bian, temanku, dia seorang psikiater, untuk menghipnotismu supaya kau lebih rileks, tapi sepertinya kau terobsesi dengan hubungan kita. Bian bilang kau malah kembali mengingat kejadian dulu, di mana dulu aku sangat jahat padamu, Bian sangat khawatir karena setelah dihipnotis bukannya rileks kau malah terjebak dalam ilusimu, kau terus-terusan menangis sambil menggigau kenangan pahit yang kau alami bersamaku. Lalu setelah itu kau pendarahan hebat." Firman mengecup keningku dengan sayang. "Maafkan aku, aku tidak tau kalau kenangan itu membuatmu begitu terluka." Matanya meredup mengisyaratkan penyesalan yang mendalam. "Aku mencintaimu..."
"Dimana Bian?" Aku memotong ucapannya. "Kenapa? kau tidak percaya apa yang barusan aku katakan?" Ucapnya curiga
"Aku ingin meminta Bian untuk menghipnotisku lagi" Aku tersenyum memandangnya.
"Tidak!!! Aku tidak mau melihatmu menderita lagi." Firman menolak permohonanku dengan tegas. Aku tersenyum geli memandangnya. "Kenapa kau malah tersenyum?" Acuhnya
"Aku ingin meminta Bian membantuku mengingat peristiwa saat kau menikahiku hingga aku bisa mengandung anakmu ini." Pipiku memerah, dan firman malah mengelusnya dengan gemas.
"Aku ingin mengingat kenangan bahagia itu firman." Aku menatapnya penuh permohonan.
"Biar aku saja yang mengingatkanmu, aku bersedia mengingatkanmu setiap hari." Ucapnya diikuti dengan kecupan di keningku lagi.
Astaga, aku sungguh merasakan bahagia saat ini, bahagia karena mendapatkan kembali dia, pria yang menggoreskan luka tajam sekaligus pria yang akan melukiskan kebahagian padaku. Aku tak mau terjebak dalam ilusi pahit lagi, aku ingin mengingat setiap kebahagian yang ia berikan padaku.
"Aku tlah halal untukmu, aku mencintaimu, Firman." Dia membalasnya dengan pelukan yang hangat. Aku bersyukur Allah menuliskan dia di kehidupanku, Firman Adi Pratama!
Selesai..